“Eh tau ga, tadi
kan gw lewat depan ruang guru, terus gw denger kalau ada anak baru hari ini,
cowo lagi, pindahan dari Bandung.”
“Siapa namanya?”
“Gak tau, tapi
kayaknya sih cakep.”
Begitu lah
suasana kelas ku di pagi hari. Ada yang bergosip, ada yang tidur, dan beberapa
sedang membaca buku seperti laki-laki berkacamata di sebelah ku ini, Teddy. Setiap
ada waktu senggang, Teddy memang selalu menyempatkan waktu untuk membaca buku.
Baginya membaca buku adalah kebutuhan primer sama seperti makan dan pakaian.
Pukul sudah
menunjukkan pukul 7 tepat. Tetapi ibu Susan, guru biologi kami belum juga
menampakkan diri. Padahal jam sekolah sudah dimulai sejak setengah jam yang
lalu. Belum sempat saya bernafas, bu Susan sudah menampakkan dirinya. Dengan
mengenakan setelan pakaian berwarna biru muda dengan langkah mantab dia
berjalan ke arah mejanya.
“Pagi
anak-anak.” Sapa bu Susan ramah. Beliau memang salah satu guru teramah di sini.
Maka dari itu semua anak yang di ajar oleh dia pasti semangat belajar.
“Pagi bu.” Jawab
anak-anak kompak.
“Sebelum memulai
pelajaran, ibu akan mengenalkan kalian dengan murid baru pindahan dari
Bandung.”
“Elang, silahkan
masuk.” Betapa kagetnya aku melihat sesosok laki-laki berambut ikal berjalan ke
depan kelas dan berdiri di samping bu Susan. Wajah menyebalkan itu ada di
hadapan ku sekarang. Mata ku dengan dia bertatapan. Sengaja aku menatpnya
dengan sinis menandakan bahwa aku benar-benar marah padanya karena tingkahnya
kemarin.
“Sha, itu
bukannya cowo yang...”
“Aku harus kasih
pelajaran ke dia.”
“Udahlah sha
jangan cari perkara deh, ini kan sekolah.”
“Aku gak
peduli.” Teddy hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban ku yang keras kepala.
Dia sudah tau dengan sifat buruk ku yang keras kepala ini. karena itu dia tidak
akan membantah ucapan ku lagi, karena dia pasti akan kalah jika berdebat dengan
ku.
“Baiklah lah
Elang, kamu duduk di situ di depan Tisha.”
“Terimakasih
bu.” Dengan wajah konyol dia berjalan ke arah ku. Tatapannya masih sama seperti
tadi. Dia memang cowo yang gak merasa bersalah. Tekad ku sudah bulat untuk
memberi dia pelajaran sampai dia kapok dan bersujud minta maaf pada ku.
“Baiklah
anak-anak kita mulai pelajarannya. Buka halaman 75.”
Pelajaran
pertama ini sangat membosankan dan terasa lama sekali. Aku udah muak melihat
cowo yang duduk di depan ku ini. Rasanya ingin aku jambak rambutnya dan
menyeretnya ke lapangan. Sadis memang. Tapi itu memang pantas di dapatkan cowo
yang gak punya perasaan ini.
Empat jam telah
berlalu dengan sangat menyebalkan. Bel tanda istirahat sudah berbunyi, tetapi
ada yang aneh. Siswa laki-laki sudah berhamburan ke luar kelas menuju kantin
sekolah yang terletak di lantai satu. Tetapi tidak dengan siswa perempuannya.
Mereka malah mendatangi kursi tempat Elang duduk dan mengajaknya mengobrol. Ada
yang menanyakan rumahnya, nomor teleponnya, dan segala macam yang membuat saya
lelah mendengarnya. Karena sudah tidak tahan lagi dengan tingkah perempuan-perempuan
genit, cepat-cepat aku mengambil langkah seribu dan meninggalkan kelas.
“Tisha.” Baru
sampai depan kelas, aku mendengar seseorang memanggil nama ku. Dan sepertinya
aku tau siapa dia. Dengan wajah kesal aku menoleh ingin mengetahui apa yang di
inginkan cowo itu.
Semua mata
perempuan yang ada di kelas ini berubah sinis menatap ku. Seakan-akan aku ini
santapan yang siap mereka terkam. Cepat-cepat aku mengalihakan perhatian ku
pada cowo ngeselin itu. Dia mencoba keluar dari kerumunan itu, berjalan menghampiri
ku, kemudian menggenggam lengan ku dan menarik ku ke pojok ruangan dekat kamar
mandi.
“Gak ada
kapoknya ya lu bikin gw marah. Mau apa sih lu?”
“Gw juga mau
bilang, maaf ya cantik gw udah buat lu kesal.”
Setelah
mengucapkan kalimat itu dia pergi meninggalkan aku sendiri yang berdiri
mematung. Wajahku yang semula emosi kini berubah menjadi merah karena tersipu.
Mata ku terus tertuju pada cowo ngeselin itu sampai pundaknya hilang di belokan
koridor.
“Sha, kenapa
muka kamu merah begitu?” Tanya Teddy tiba-tiba yang sontak membuat aku kaget
dan bingung harus jawab apa. Aku hanya terdiam dan bengong untuk mengalihkan
perhatian Teddy.
“Eh dia malah
bengong. Kamu kesambet ya sha?”
“Enak aja kamu
kalau ngomong.” Jawab ku sambil manyun.
“Jangan ngambek
dong. Lagian kamu ditanyain malah diem aja, bengong lagi. Kamu kenapa sih? Dari
tadi aku ngeliatin kamu loh, abis ngobrol sama si Elang muka kamu langsung
merah begitu.”
“Eh.. ehm..” Aku
salah tingkah mendengar pengakuan Teddy barusan.
“Tuh kan
sekarang ngomongnya malah terbata-bata gitu, kenapa sih? Dia gangguin kamu
lagi? Bilang sama aku nanti biar aku hajar dia. Beraninya dia gangguin kamu.”
“Eh gak kok gak,
dia gak gangguin aku. Beneran.”
“Ehm aku ke
kantin dulu ya, laper nih.” Ucap ku sambil berlalu. Aku takut Teddy
memperpanjang pembicaraan ini. aku gak mau Teddy tau apa yang diucapkan Elang
pada ku tadi. Biar hanya aku, Elang, dan Tuhan yang tau.
***
“Kenapa ya aku gak bisa
lupain kata-kata si Elang tadi? Padahal aku yakin kalau dia itu cuma asal
ngomong aja. Haduuhhh please deh sha lupain cowo ikal yang ngeselin itu. Lupa,
lupa, lupaaaa...”
“Tisha, ayo
makan dulu sayang.” Suara mama memanggil ku untuk makan malam. Memang menjadi
kebiasaan di keluarga ku untuk makan malam bersama sambil berbincang mengenai
kegiatan tadi siang. Harus ada saling keterbukan antara anggota keluarga,
begitulah kata papa.
“Iya ma, nanti
Tisha nyusul.”
“Jangan
lama-lama ya sayang, papa sama kak Aldi udah nunggu dari tadi.”
“Iya ma.”
***
0 comments:
Posting Komentar