Suasana di meja
makan malam ini sunyi banget. Gak seperti biasanya. Hanya terdengar suara
dentingan gesekan sendok, garpu, dan piring makan. Papa sibuk berkutat dengan
makanan yang ada di piringnya. Tidak jauh berbeda dengan mama dan kak Aldi. Gak
seperti biasanya kak Aldi diam begitu. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan.
Eh bukan hanya kak Aldi aja yang menyembunyikan seuatu sepertinya, tingkah mama
dan papa juga tidak kalah berbeda dari tadi.
Makanan di
piring ku udah hampir habis, tetapi sepertinya tidak ada tanda-tanda ada yang
ingin angkat bicara. Jenuh dengan keadaan seperti ini, aku letakkan sendok dan
garpu di piring. Aku tatap mama, papa, dan kak Aldi secara bergantian. Dan aku
semakin yakin kalau mereka menyembunyikan sesuatu.
“Ma, Pa, Kak
Aldi. Kalian kenapa sih? Dari tadi diem aja.”
“Loh emang kita
harus bagaimana sha?” Tanya papa tidak merasa bersalah telah mendiamkan ku dari
tadi.
“Kenapa gak ada
yang memulai pembicaraan seperti biasanya? Pasti ada yang kalian sembunyikan
deh. Siapa yang mau jelasin ke aku.”
“Ehm, mama aja
deh yang jelasin.”
“Papa aja deh.”
“Kalau gak kamu
aja deh di.”
“Gak mau ah,
kenapa gak papa aja, kalau gak mama aja tuh.”
“Ini kenapa
malah di lempar-lempar gini sih? Ayo jelasin ke Tisha ada apa sebenarnya?”
“Ehm, baiklah
papa akan jelasin ke kamu. Tapi janji ya kamu jangan marah sama papa.”
“Kenapa juga aku
harus marah sama papa, yaudah ayo jelasin ke Tisha ada apa sebenarnya?”
“Papa baru aja
tanda tangan kontrak bisnis dengan salah satu perusahaan dari Australia.”
“Wah itu mah
kabar bagus dong pa, kenapa harus di sembunyiin dari Tisha?”
“Tapi
masalahnya, papa akan tinggal beberapa bulan di sana dan sepertinya mama akan
ikut untuk menemani papa.”
“Tapi kak Aldo
tetap di sini kan pa?” Kabar yang benar-benar buruk. Aku memang senang
mendengar kabar kalo papa udah menandatangani kontrak dengan salah satu
perusahaan dari Australia, tapi kalau harus di tinggal beberapa bulan kayak
gini aku juga mau.
“Itu juga yang
jadi masalah dek. Aku di tawarin beasiswa untuk kuliah ke Jerman, gak tau
kebetulan atau gak keberangkatan aku bersamaan sama keberangkatan papa dan
mama.”
Satu kabar yang
membahagiakan sekaligus menyebalkan hari ini. Kak Aldo emang pintar banget,
terbukti dia bisa dapetin beasiswa ke Jerman sesuai dengan impian yang dia
harapkan. Aku juga turut bahagia dengernya. Tapi di lain sisi, aku juga harus
kehilangan dia dan bertepattan dengan kepergian mama dan papa ke Australia.
Sungguh amat tragis kabar yang aku dapat di malam ini.
“Terus aku di
rumah sendirian gitu? Kok kalian jahat sih ninggalin aku sendirian?”
“Maaf sayang,
tapi keadaannya memang kayak gini. Kan ada mbok Inah yang bisa nemenin kamu,
kalau gak minta temenin Teddy aja sayang, pasti dia mau nemenin kamu.”
“Gak tau deh ma.
Aku ke kamar duluan ya, capek.” Udah males banget lagi ngelanjutin pembicaraan
di meja makan ini. Sambil berlari menuju kamar, aku sekilas mendengar suara
mama dan papa yang memanggil nama ku. Tapi aku tidak memperdulikannya.
Sampai di kamar,
aku sudah tidak tahan lagi menampung air mata di pelupuk mata ku. Bukannya aku
cengeng, tapi dari kecil aku tidak pernah terpisahkan dari mereka. Dan kali ini
adalah kali pertama aku harus di tinggal pergi mereka dalam waktu yang tidak
sebentar. Dengan masih berlinang aku mengambil ponsel ku dan memencet sederetan
nomor telepon yang sudah aku hafal di luar kepala.
“Ha.. lo...”
Suara ku bergetar menahan tangis.
“Tisha kamu
nangis? Kenapa?”
“A.. ku...”
“Sekarang
tenangin diri kamu dulu. Atur nafas, terus ceritain kamu kenapa.”
“Mama sama papa
ada bisnis di Australia, terus kak Aldo dapat beasiswa ke Jerman.”
“Wah kabar bagus
dong itu sha. Terus kenapa kamu malah nangis? Harusnya kamu seneng dong.”
“Ihh Teddy kamu
gimana sih? Itu artinya kan aku bakalan di tinggalin sendirian, kamu kan tau
dari kecil aku gak pernah di tinggalin sendirian sama mereka.”
“Jangan manja
deh sha. Kamu udah gede, bentar lagi 17 tahun masa karena cuma di tinggal
beberapa bulan aja kamu nangis kayak gitu. Kamu fikir deh sha, itu kan
kesempatan baik buat mama, papa, sama kakak kamu. Kesempatan itu gak akan
datang dua kali kan? Lagi pula kan masih ada mbok Inah, aku juga mau kok
nemenin kamu sha.”
“Terus gimana
acara ulang tahun ku bulan depan? Masa aku harus ngerayain ulang tahun tanpa
mereka? Kan kamu juga tau kalau mama, papa, dan kak Aldo sangat berarti dalam
hidupku.”
“Iya aku tau.
Sangat tau. Sha, dengerin aku ya. Kamu harus berfikir rasional jangan
mementingkan urusan kamu aja, masa cuma karena kamu takut mereka gak datang di
acara kamu, mereka harus membatalkan semua planning yang udah tersusun? Gak
adil sha buat mereka? Kamu ngerti kan maksud aku?”
“Iya aku
ngerti.”
“Yaudah sekarang
kamu tidur. Aku tau kamu pasti bisa ngambil keputusan yang benar. Nice dream
sha.”
***
“Kalau gitu kita
batalkan saja ma, kepergian kita.”
“Tapi, papa kan
udah terikat kontrak mana bisa papa membatalkannya begitu saja. Biar mama yang
ga usah pergi pa.”
“Mama sama papa
pergi aja, Tisha gak apa-apa kok di rumah sendirian. Kan ada mbok Inah.”
“Tisha? Kamu
yakin?”
“Yakin pa.”
“Makasih ya
sayang kamu udah ngertiin mama sama papa. Mama bangga sama kamu.”
“Iya ma sama-sama.
Sukses ya buat kak Aldo, nanti jangan lupa main-main ke Indonesia dan hubungin
aku.”
“Iya dek,
pasti.”
“Yaudah aku
berangkat sekolah dulu ya ma, pa.”
“Hati-hati ya
sayang.”
***
“Ma, pa, jangan
lupa ya telepon aku kalau udah sampai.”
“Pasti sayang,
kamu jaga diri baik-baik ya dan salam buat Teddy.”
“Iya ma.”
“Papa berangkat
dulu ya sayang.”
“Hati-hati ya
pa.” Sedih rasanya harus melihat mereka pergi meninggalkan aku sendiri. Air
mata ku kembali berlinang. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju pintu
keluar bandara. Karena tidak konsentrasi, aku menabrak seseorang hingga barang
bawaannya terjatuh. Cepat-cepat aku membantunya merapikan barang bawaannya yang
berserakan di lantai.
“Maaf, saya
tidak sengaja.”
“Gak apa-apa.
Loh kamu?” Ternyata orang yang aku tabrak adalah Elang. Mau apa dia di sini?
Tapi sikapnya sangat berbeda. Dia begitu lembut dan ramah tidak seperti
sebelumnya.
“Elang? Kok kamu
ada di sini?”
“Ehm iya, aku
baru aja nganterin mama yang mau ke London menyusul papa. Kamu sendiri ngapain
di sini?”
“Sama, aku juga
abis nganterin mama sama papa.”
“Pantes mukanya
sembab begitu.” Elang berkata seperti itu sambil tersenyum. Hah? Elang senyum?
Baru kali ini aku melihatnya tersenyum. Senyum yang tulus dan terlihat manis.
Aku baru tau dia punya senyum semanis itu yang mampu meruntuhkan kebencian ku
padanya.
“Terkagum-kagum
ya liat senyum ku?”
Aku tersontak
mendengar pertanyaan Elang barusan. Darimana dia tau kalau aku kagum melihat
dia tersenyum seperti itu?
“Jangan kepedean
deh jadi orang.” Jawab ku ngeles.
“Udah lah lupain
aja. Kamu lapar gak? Kita makan dulu yuk.”
“Ehm boleh deh.”
/***
0 comments:
Posting Komentar