hthtththth. Diberdayakan oleh Blogger.

Hanya Tinggal Kenangan #Part7


“A.. ku.. dimana?”
“Sha. Akhirnya kamu sadar juga. Aku dan mbok Inah cemas karena kamu gak sadar-sadar.”
“Teddy.. Teddy gimana?”
“Aku belum dapat kabar lagi dari keluarganya.”
“Antar aku ke rumah sakit lang.”
“Tapi kan kamu baru sadar dari pingsan.”
“Aku gak apa-apa lang. Kamu mau antar aku atau gak? Kalau gak aku bisa pergi sendiri!”
“Iya iya aku antar kamu.”
“Mbok aku sama Tisha pergi dulu ya.”
“Hati-hati den Elang dan non Tisha.”
“Makasih mbok.”

***

“Tante, gimana keadaan Teddy?”
“Masih kritis sha.”
Air mata kembali menetes di pipi. Entah sudah berapa banyak air mata yang aku keluarkan hari ini. Aku menangis di pundak Elang. Dia mencoba menenangkan ku. Dia gak ingin aku pingsan seperti tadi. Elang sangat mengkhawatirkan keadaan emosional ku sekarang.
“Tisha, ini kado dari Teddy untuk kamu.”
Tante Marlina, mama Teddy memberikan sebuah kotak persegi berwarna biru, sesuai dengan warna kesukaan ku. Teddy memang sangat mengerti selera ku. Aku buka kotak itu perlahan. Isi kotak itu kembali mengingatkan ku pada kejadian 10 tahun lalu. Pesawat-pesawatan yang aku dan Teddy buat, gelang-gelangan untuk Teddy yang aku buatkan dari rotan, dan sebuah foto kenangan kita berdua. Ada secarik kertas. Aku buka perlahan kertas itu dan aku mulai membacanya.
Tisha, surat ini aku buat dari seorang sahabat untuk sahabat yang dia cintai. Bagi ku kamu bukan hanya sahabat sejati, tapi kamu belahan jiwa ku. Aku tau tidak sepantasnya aku mengatakan ini padamu. Aku bukanlah siapa-siapa yang patut kamu cintai.
Aku bahagia mendengar kamu telah bersama Elang. Aku tau dia laki-laki yang baik. Maafkan aku kalau selama ini aku melarangmu berdekatan dengan dia. Sebenarnya aku cemburu. Iya, aku cemburu melihatmu sedekat itu dengannya. Kita memang dekat. Tapi aku lihat ada perbedaan di sana. Saat kamu di samping ku, kamu hanya bisa tersenyum. Tetapi saat kamu bersama Elang kamu bisa tertawa puas tanpa ada beban sedikit pun.
Tatapan mata mu juga tidak bisa menipu ku sha. Ada binar-binar cinta di sana untuk Elang. Iya, hanya untuk Elang. Bukan untuk aku. Aku sadar rasa sayang mu pada ku hanya sebagai seorang sahabat dan ku rasa tidak bisa lebih. Tapi tak apa sha. Hanya menjadi sahabat mu saja aku sudah senang. Aku tak perlu hati mu yang mencintai aku, aku hanya perlu kamu selalu di samping ku menjadi sahabat ku.
Sha, semenjak kejadian kemarin di danau itu, aku sadar aku terlalu kasar sama kamu akhir-akhir ini dan puncaknya kemarin saat aku tau kamu memang telah bersamanya kini. Tapi kini aku sadar, mencintai tidak harus memiliki. Hanya melihat mu bahagia dengan orang yang kamu cintai, aku sudah bahagia sha. Jangan pedulikan aku. Dengarkan kata hatimu.

-   Teddy    -

***

Aku tidak kuat lagi membendung tampungan air mata ku setelah membaca surat dari Teddy. Aku menangis sejadi-jadinya. Begitu dalam rasa sayang Teddy pada ku, tapi aku tidak menyadari itu. Betapa bodohnya aku. Kenapa aku gak bisa peka dengan keadaan sekitar ku? Bahkan perasaan sahabat ku sendiri.
Tiba-tiba pintu kamar Teddy terbuka. Dokter ke luar dengan wajah murung membuat ku semakin gundah.
“Dimana keluarga pasien Teddy?”
“Saya mamanya dok? Bagaimana keadaan Teddy?”
“Maaf bu, kami sudah berusaha. Tapi Tuhan berkehendak lain.”
Tante Marlina pingsan gak sanggup mendengar kenyataan yang ada. Begitu pun dengan ku. Lutut ku terasa sangat lemas. Aku terjatuh. Elang mencoba menenangkan ku. Dia memeluk ku erat dan memberikan dadanya untuk aku menangis. Aku gak bisa menerima kenyataan ini sama halnya dengan tante Marlina. Aku belum siap harus kehilangan sahabat seperti Teddy.

   /

Air mata mengantar kan kepergian Teddy. Semua orang yang menghadiri pemakaman Teddy pasti merasa kehilangan dia. Sosok yang baik hati, penyayang, dan siap membantu siapa pun yang sedang kesusahan. Tidak pandang bulu.
Tante Marlina terlihat lebih tegar. Tetapi tidak dengan Angel, adik semata wayang Teddy. Dia terlihat begitu kehilangan. Angel dan Teddy memang saudara kandung yang sangat dekat, bahkan terkadang aku iri melihat kedekatan mereka.
Tante Marlina menghampiri ku. Beliau membawa sebuah bungkusan yang dibungkus dengan kertas kado mickey mouse, tokoh kartun kesukaan ku. Beliau menyerahkan bungkusan itu pada ku.
“Ini untuk kamu dari Teddy sha. Sebenarnya ini sudah lama pengen dia kasih ke kamu, tetapi dia menunggu saat yang tepat. Sayangnya saat itu sudah tidak ada lagi.” Ucap Tante Marlina sambil berlinang air mata.
Satu demi satu orang silih berganti meninggalkan pemakaman, termasuk keluarga Teddy, tante Marlina, om Alex, dan Angel serta Elang. Kini hanya aku, makam Teddy, dan bungkusan kecil di tangan ku. Dengan perlahan  aku buka bungkusan itu. Sedikit demi sedikit isi bungkusan itu dapat terlihat. Sepertinya aku mengenal benda itu. Sebuah kaset. Iya, kaset westlife yang tempo hari di janjikan oleh Teddy. Ada secarik kertas yang tertempel di cover kaset tersebut.
“Tisha, aku akan selalu berada di hatimu. Walaupun semua hanya tinggal kenangan. Dan biarlah menjadi kenangan manis untuk kita berdua”

***
Baca Selengkapnya Yaa :D

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hanya Tinggal Kenangan #Part6

“Nganterinnya sampai sini aja lang.”
“Kamu yakin?”
“Iya, danaunya di depan situ kok. Nanti biar aku pulang sama Teddy. Oh ya ini jaket kamu.”
“Gak usah, kamu pake aja. Ini udah malem nanti kamu kedinginan. Yaudah aku pulang ya, kamu hati-hati. Kalau udah sampai rumah, sms aku ya.”
“Iya sayang.”
Setelah Elang menjauh, aku menelurusi jalan setapak di tengah malam ini. aku terlambat satu jam, semoga saja Teddy masih menunggu ku di sana.
Danau ini sudah sangat sepi. Hanya terdengar suara binatang-binatang malam dan desir angin yang membuat bulu kuduk merinding.
“Kamu telat satu jam.” Suara Teddy mengagetkan ku.
“Ya ampun  Teddy, kamu ngagetin aku aja.”
“Kenapa telat?”
“Ehm.. aku...”
“Jaket siapa yang kamu pakai? Setau aku, kamu gak suka pake jaket semacam itu.”
“Ini jaket.. Elang..” Aku berbicara sangat hati-hati.
“Jadi kamu telat karena abis jalan sama Elang. Kamu lebih mentingin jalan sama dia dibanding ketemu sama aku.”
“Maafin aku Ted, aku ga bermaksud kayak gitu.”
“Kamu tau gak kenapa aku gak suka kamu deket sama Elang? Karena aku takut kamu suka sama dia dan bahkan kalian sampai jadian.”
“Loh memangnya kenapa kalau aku jadian sama Elang? Apa itu salah?”
“Apa kamu memang udah jadian sama dia?”
“Iya, tadi dia nyatain perasaannya ke aku.”
“Ok bagus.”
“Terus apa sih urusannya sama kamu?
“Aku cemburu.”
“Kamu... cem...”
“Iya aku cemburu. Sekarang kamu udah tau kan kenapa aku gak suka kamu deket sama Elang. Karena aku cemburu sha. Hati aku sakit ngeliat kamu deket-deketan kayak gitu sama Elang. Aku jauh lebih lama mengenal kamu sha, tapi kenapa dia yang bisa milikin hati kamu. Betapa hancurnya sha perasaan aku saat ini. Kamu gak akan pernah tau gimana rasanya.
“Ted..”
“Aku sayang sama kamu sha semenjak pertama kali kita ketemu di tempat ini. Saat kamu jatuh dari sepeda roda dua mu itu. Anak perempuan yang gendut dan lugu menangis di pinggir danau. Jujur saat itu hanya rasa kasian yang aku rasakan. Tapi hari demi hari berganti begitu cepat sha. Dan begitu cepat pula perasaan ku ini berubah dari rasa kasian menjadi rasa sayang sampai saat ini. Anak perempuan itu kini tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik, berkulit putih, dan berambut panjang. Dan kini anak perempuan itu telah di miliki oleh seorang laki-laki dan itu bukan aku, anak laki-laki yang menjadi pahlawan anak perempuan itu.”
Tetes demi tetes air mata membasahi pipi ku. Sebuah pengakuan yang begitu menyesakkan hati. Teddy, orang yang selama ini aku anggap sahabat yang selalu menjadi pelindung ku menaruh hati pada ku tanpa aku tau sebelumnya. Kenapa aku harus tau dengan cara seperti ini? Kenapa harus aku yang menyakiti hati sahabat ku sendiri? Kenapa harus aku?
“Udah lah sha, kamu udah tau semuanya. Aku gak bisa tetap di samping kamu menjadi sahabat mu lagi. Mungkin aku mau menjauh dari mu untuk bisa menyembuhkan hati luka ini sha.
“Tapi Ted.. kamu... Ted, andai aja aku tau ini sebelum aku jadian sama Elang.”
“Kalau kamu tau tentang perasaan aku ini sebelum kamu jadian sama Elang, emangnya kamu bakalan ngebahas perasaan aku ini?”
“Ehm tapi setidaknya...”
“Sha udah cukup. Aku gak mau perpanjang masalah ini lagi. Maaf aku ga bisa nganterin kamu pulang. Kamu hati-hati ya pulangnya.”
“Ted.. Teddy.. tunggu..”
Teddy tidak bergeming sedikit pun. Dia tetap melangkah pergi meninggalkan ku sendiri di tengah malam seperti ini. Aku merasa bersalah telah menyakitkan hati Teddy, sahabat ku sendiri. Walaupun aku tidak bermaksud menyakitkan hati dia, tetap saja sumber masalah ini adalah aku.
Aku terduduk lemas di rerumputan pinggir danau. Memandang air danau yang bercahaya karena terpaan sinar bintang. Suara binatang-binatang malam makin terdengar jelas di telinga. Hari juga semakin malam. Jam di pergelangan tangan ku telah menunjukkan pukul 11 malam. Hanya kurang 1 jam lagi, umurku akan bertambah 17 tahun.
Dengan langkah gontai dan mata sembab, aku menelurusi langkah setapak menuju rumah ku yang terletak tidak jauh dari danau itu. Perumahan dimana aku tinggal sudah sangat sepi. Hanya terlihat dua satpam yang berjaga-jaga di pos. Bergegas aku membuka gerbang rumah ku dan langsung masuk ke rumah menaikki tangga menuju lantai dua rumah ke dimana kamar ku berada.
Hari ini begitu sangat melelahkan. Aku tidak sanggup lagi menopang tubuh ku. aku hempaskan tubuh ku di kasur ku yang empuk itu. Dengan sprai bermotif bunga-bunga aku mengumpat di balik bantal. Air mata ku kembali menetes membasahi bantal. Posisi ku tidak berubah sampai keesokan harinya.

***

Sebuah kue tart tersaji di atas meja di tambah dengan lilin berangka 1 dan 7. Teman-teman yang udah aku undang sudah pada berdatangan termasuk Elang.  Tapi sosok laki-laki berkacamata belum juga terlihat. Entah dia akan datang atau tidak karena kejadian semalam. Tapi aku tetap berharap dia datang mengucapkan selamat ulang tahun untuk ku, sahabatnya.
“Sayang, kok kamu malah bengong di sini sih? Yang lain udah nunggu kamu tuh, tiup lilinnya dulu yuk.”
“Tapi Teddy belum datang lang.”
“Mungkin dia kena macet kali. Kamu udah coba hubungin ke nomornya?”
“Belum, aku ga berani lang.”
“Loh kenapa? Kamu lagi berantem sama dia?”
“Ya begitu lah.”
Elang tidak berani melontarkan pertanyaan lagi. Sepertinya dia tau kalau aku sedang ingin sendiri. Ya walaupun kondisinya tidak tepat.
Hari ini adalah hari ulang tahun ku. Dan malam ini harusnya aku senang karena orang-orang aku sayang termasuk Elang hadir di sini untuk merayakannya bersama ku. Tapi aku tidak merasakan kebahagiaan itu. mungkin karen tidak ada Teddy di sini mendampingi ku. Padahal dia berjanji akan selalu menemani ku sampai kapan pun. Mungkin dia sudah lupa akan janjinya sendiri.
Ponsel Elang berbunyi. Setelah berpamitan kepada ku dia pergi mencari tempat yang sepi kemudian yang mengangkat teleponnya. Dari tempat ku sekarang aku masih bisa memantau Elang. Aku melihat raut mukanya yang tiba-tiba berubah. Mukanya pucat dan sangat tegang. Dia memutuskan teleponnya dan berjalan ke arah ku dengan lemas. Dia berlutut di hadapan ku, mencoba mencari kata-kata yang pas untuk mengatakannya pada ku.
“Kamu.. kenapa lang?”
“A.. ku... aku...”
“Lang, kamu jangan buat aku panik deh. Siapa yang nelepon kamu? Terus kenapa kamu jadi tegang begini?”
“Aku.. dapet kabar dari.. keluarganya Teddy. Kalau Teddy...”
“Teddy kenapa lang? Teddy kenapa?”
Aku menggoyang-goyangkan tubuh Elang ingin segera tau apa yang terjadi dengan Teddy. Tanpa terasa air mata ku terjatuh membasahi pipi ku.
“Lang, jawab!”
“Teddy.. Teddy kecelakaan sha dan kondisinya sekarang kritis.”
“Apa?”
Dunia terasa hancur berantakan. Terulang kembali rekaman masa-masa indah bersama Teddy. Sahabat ku dari kecil yang selalu menjadi pahlawan ku di mana pun. Saat ini aku mendengar kabar kalau dia kecelakaan dan kondisinya kritis. Baru kemarin aku melihat dia. Wajahnya yang kecewa dengan ku, dengan perasaannya, dan keadaan. Aku sudah gak sanggup lagi. Mata ku kunang-kunang. Aku pingsan.

***

Baca Selengkapnya Yaa :D

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hanya Tinggal Kenangan #Part5


“Jangan buka mata dulu ya.”
“Kita mau kemana sih lang?”
“Udah kamu tenang aja. Awas pelan-pelan jalannya. Nah sekarang kita udah sampe. Kamu boleh buka mata, 1, 2, 3.”
“Waw, Elang. Ini keren banget.”
Elang membawa ku ke atas bukit yang sangat indah. Bulan dan bintang menambah keindahan alam semesta ciptaan Tuhan yang maha pencipta. Dari atas sini terlihat gemerlap lampu perumahan di kota-kota besar. Sungguh sebuah pemandangan yang menyejukkan mata.
“Sha, coba deh kamu lihat ke belakang kamu.”
Lampu-lampu berkilau membentuk huruf I-L-O-V-E-Y-O-U. Sebuah ukiran yang sangat indah. Ini adalah hari yang gak akan pernah aku lupakan. Tiba-tiba Elang menggenggam tangan ku dan berlutut di hadapanku. Seketika jantung ku berdetak cepat. Muka ku terasa panas karena tersipu malu.
“Aku sayang sama kamu sha. Maaf kalau pertemuan pertama kita udah buat kamu kesal. Sebenarnya itu hanya taktik aku aja supaya bisa deket sama kamu. Saat kamu masuk ke toko musik itu, aku udah merhatiin kamu. Mata ku gak bisa berpaling dari wajah kamu. Cantik dan manis. Ini semua aku persembahin buat kamu sebagai kado kecil ulang tahun kamu sha. Di ulang tahun kamu yang 17 tahun ini, aku mau membuat suatu kejadiann yang gak akan pernah kamu lupain sampai kapan pun.”
Deg, ucapan Elang ngena banget di hati aku. Aku merasa sangat senang mendengar ucapan itu. Dan sepertinya aku punya perasaan yang sama dengan Elang.
“Jadi gimana sha?”
“Ehm.. aku...”
Tiba-tiba Elang berdiri dan berjalan ke arah ku. Dengan perlahan dia mendekatkan wajahnya ke arah wajah ku. Kini jarak wajah kita hanya berjarak sekitar 1 cm. Jantung ku berdetak lebih cepat lagi dari sebelumnya. Wajah ku kembali memanas, pasti wajah ku merah sekali seperti kepiting rebus karena grogi dengan tingkah Elang.
“Hahahahahaha.”
“Kok kamu malah ketawa sih lang? Kamu cuma mempermainkan aku ya? Jahat banget sih.”
“Eh eh tunggu sha. Aku serius kok sama semua ucapan ku tadi, aku ketawa itu karena lihat muka kamu yang merah kayak kepiting rebus. Mana deg-degannya kenceng banget lagi, sampai-sampai aku bisa denger detak jantung kamu hahahaha.”
“Iiiiihhhhh......”
“Aduuhhh, saakkiiitt sha. Kok kamu nyubit aku sih?”
“Abisnya kamu malah ngeledekkin aku sih.”
“Jangan cemberut gitu dong sha. Maafin aku ya. Jadi gimana jawabannya? Kamu mau gak jadi pelengkap hidup ku?”
“Ehm..  aku.. aku... ehm maaf lang.”
“Iya gak apa-apa kok, aku gak bisa maksa kalo kamu emang gak suka sama aku.” Jawab Elang pasrah.
“Aku belum selesai ngomong kali. Dengerin dulu makanya. Aku minta maaf karena aku gak bisa jadi pelengkap hidup kamu, tapi aku mau jadi penyempurna hari-hari kamu lang.”
“Iiihhh... dasar jelek.”
“Aduuhhh sakit tau hidung ku.”
“Hahahahaha”
Bintang bermunculan lagi menambah indah suasana malam ini. Malam ini benar-benar menjadi malam yang tidak akan pernah aku lupakan. Aku dan Elang kini menjadi sepasang kekasih yang sangat bahagia.
Semakin malam udara di bukit ini semakin dingin. Dengan gentleman, Elang melepas jaket yang dia kenakan dan dia berikan kepada ku. Dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dan menempelkannya ke pipi dan telapak tangan ku. Setidaknya bisa mengurangi rasa dingin yang mendera tubuh ku.
Tiba-tiba hati ku terasa sangat gelisah. Sepertinya aku melupakan sesuatu. Ya ampun. Aku baru ingat kalau aku punya janji dengan Teddy. Dengan perlahan-lahan aku mengatakannya pada Elang.
“Oh ya lang, aku lupa. Aku punya janji sama Teddy hari ini. Dan kayaknya aku udah telat. Bisa gak kalau kita pulang sekarang?”
“Bisa dong sayang.” Jawab Elang lembut sambil mengelus rambut ku.

***
Baca Selengkapnya Yaa :D

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hanya Tinggal Kenangan #Part4


Kurang dari dua minggu umur ku genap 17 tahun. Aku membuat acara kecil-kecilan di rumah untuk merayakan my sweet seventeen yang hanya terjadi satu kali dalam hidupku. Kata orang, di umur 17 tahun adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja.
Kartu undangan untuk teman-teman sudah semuanya dibagikan. Termasuk Elang, ya Elang. Sejak pertemuan ku dengannya tempo hari di bandara, aku jadi berteman baik dengan dia. Ternyata Ealng tidak seperti yang aku bayangkan. Dia orangnya asyik dan mudah bergaul. Kebetulan banyak sekali kesamaan antara kita. Dari mulai musik hingga hal-hal kecil seperti kartun.
Entah kenapa aku mulai merasa nyaman dengan dia. Aku harap dia pun merasakan hal yang sama. Sepertinya aku mulai suka dengannya dan mulai menaruh harapan yang cukup besar.
Tetapi, Teddy tidak suka melihat kedekatan ku dengan Elang. Entah apa alasannya. Hingga saat ini dia masih merahasiakannya. Dan sejak aku dekat dengan Elang, Teddy seakan-akan menghindar dari ku. Setiap aku berusaha untuk mengajaknya ngobrol, dia selalu punya satu ribu alasan untuk menolak berbicara dengan ku terutama segala hal tentang Elang. Bahkan, di kelas dia tidak mau lagi duduk di sebelah ku. Kini Elang lah yang mengisi bangku milik Teddy.
Sekarang Teddy sedang asyik membaca buku favoritnya di pojok kelas. Sepertinya tidak ada tanda-tanda dia akan bergeming dari posisinya. Dengan sangat hati-hati aku mencoba mendekatinya. Berupaya untuk melunakkan hati Teddy saat ini.
“Boleh gak aku duduk di sini?”
Tidak ada jawaban, hanya anggukan kepala yang Teddy lakukan. Bahkan tatapan matanya tidak berpaling sedikit pun. Dia terus menatap barisan tulisan di buku yang dia genggam. Entah karena dia sedang asyik membaca buku itu atau dia malas menatap ku.
“Kamu marah sama aku?”
Jawaban yang sama. Dia hanya menggelengkan kepalanya beberapa kali dan sepertinya tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan ku dengan gerakan yang berbeda. Karena kesal melihat sikap Teddy yang keras kepala, dengan cepat aku rebut buku yang ada di genggamannya dan aku lempar ke depan kelas.
“Kamu apa-apaan sih?”
Teddy membentak ku sangat keras. Padahal dia tidak pernah membentak ku seperti itu, berbicara kasar aja dia tidak pernah. Karena kaget dengan bentakan Teddy, semua mata siswa yang ada di kelas ini tertuju pada aku dan Teddy. Risih juga dengan tatapan ingin tau mereka.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Teddy, dengan cepat dari beranjak dari tempat duduknya dan melangkah cepat ke depan kelas, mengambil buku yang tadi aku lempar kemudian berlari ke luar kelas. Gerah dengan tatapan teman-teman ku, aku pergi ke luar kelas menyusul Teddy. Tapi aku kehilangan jejak. Dia berlari begitu cepat. Untung aku tau tempat dimana aku bisa menemukan Teddy yang sedang gundah seperti itu. dengan cepat aku berputar balik menuju tempat Teddy biasa merenung. Dan benar saja, aku menemukan sesosok laki-laki berkacamata dengan bukunya duduk di bangku panjang taman sekolah.
“Teddy, aku mau ngomong sama kamu.”
“Ngapain kamu ke sini?”
“Harusnya aku yang nanya kamu. Kamu itu kenapa sih ngediemin dan ngehindarin aku kayak gini? Gak enak tau di diemin kayak gini.”
“Aku gak bisa jawab sekarang.”
“Kenapa? Apa susahnya kamu kan tinggal bilang apa alasannya. Apa ada yang salah dengan ku? Apa karena aku dekat dengan Elang? Kenapa Ted? Kenapa?”
“Aku sudah bilang aku tidak bisa menjawabnya sekarang!” Suara Teddy kembali meninggi.
“Baiklah kalau begitu kapan kamu bisa menjawab pertanyaan aku itu?”
“Satu hari sebelum ulang tahun kamu, aku tunggu kamu di tempat pertama kali kita ketemu jam 8 tepat gak pake telat.”
Dengan tegas Teddy mengucapkan kalimat tersebut. untuk apa harus di sana dia menjawab pertanyaan ku? kenapa tidak di sini dan sekarang aja dia menjelaskan semuanya. Ya sudahlah aku tidak mau memperpanjang ini semua.
“Aku akan datang.”
“Aku tunggu.”

***

“Hey sha, aku nyariin kamu juga dari tadi.”
“Eh kamu lang, aku kira siapa. Emang kenapa kamu nyariin aku?”
“Aku butuh bantuan kamu nih. Kamu mau bantuin aku kan?”
“Kalau aku bisa bantu, pasti aku bantu. Emang aku mau minta bantuan apa?”
“Sebelum hari ulang tahun kamu, aku mau nunjukkin sesuatu sama kamu. Kamu pasti suka deh. Anggap aja itu hadiah ulang tahun buat kamu.”
“Emang mau kemana sih?”
“Ada deh pokoknya, kamu harus ikut ya ya ya.”
“Iya deh aku ikut, kamu jemput aku jam berapa?”
“Aku jemput kamu jam 5.”
Ya ampun bukannya aku ada janji jam 8 dengan Teddy di hari yang sama? Kenapa pake acara lupa sih? Tapi aku juga udah terlanjur janji sama Elang, gak enak ngebatalinnya.
“Kenapa sha? Udah ada janji ya?”
“Eh gak kok, tapi ga sampe malam kan? Sebentar aja.”
“Iya sebentar kok.”

***

Gak terasa hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, berlalu begitu cepat. Jam 12 nanti malam, aku genap berumur 17 tahun. Semua persiapan udah 99%. Hanya perlu sedikit tambahan beberapa hiasan di kolam renang dan sedang di kerjakan oleh mbok Inah.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 tepat. Aku udah rapi dengan celana jeans dan t-shirt serta sepatu kets. Aku duduk di teras rumah sambil mengunggu kedatangan Elang. Gak lama kemudian terdengar suara klakson motor dari depan gerbang dan itu adalah Elang. Dengan setengah berlari aku menghampirinya.
“Maaf ya agak telat. Macet soalnya.”
“Gak apa-apa kok lang. Ayo jalan.”
“Aku jamin kamu pasti suka sama kejutan aku ini.”
“Kita lihat aja nanti.”

***
Baca Selengkapnya Yaa :D

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hanya Tinggal Kenangan #Part3

Suasana di meja makan malam ini sunyi banget. Gak seperti biasanya. Hanya terdengar suara dentingan gesekan sendok, garpu, dan piring makan. Papa sibuk berkutat dengan makanan yang ada di piringnya. Tidak jauh berbeda dengan mama dan kak Aldi. Gak seperti biasanya kak Aldi diam begitu. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan. Eh bukan hanya kak Aldi aja yang menyembunyikan seuatu sepertinya, tingkah mama dan papa juga tidak kalah berbeda dari tadi.
Makanan di piring ku udah hampir habis, tetapi sepertinya tidak ada tanda-tanda ada yang ingin angkat bicara. Jenuh dengan keadaan seperti ini, aku letakkan sendok dan garpu di piring. Aku tatap mama, papa, dan kak Aldi secara bergantian. Dan aku semakin yakin kalau mereka menyembunyikan sesuatu.
“Ma, Pa, Kak Aldi. Kalian kenapa sih? Dari tadi diem aja.”
“Loh emang kita harus bagaimana sha?” Tanya papa tidak merasa bersalah telah mendiamkan ku dari tadi.
“Kenapa gak ada yang memulai pembicaraan seperti biasanya? Pasti ada yang kalian sembunyikan deh. Siapa yang mau jelasin ke aku.”
“Ehm, mama aja deh yang jelasin.”
“Papa aja deh.”
“Kalau gak kamu aja deh di.”
“Gak mau ah, kenapa gak papa aja, kalau gak mama aja tuh.”
“Ini kenapa malah di lempar-lempar gini sih? Ayo jelasin ke Tisha ada apa sebenarnya?”
“Ehm, baiklah papa akan jelasin ke kamu. Tapi janji ya kamu jangan marah sama papa.”
“Kenapa juga aku harus marah sama papa, yaudah ayo jelasin ke Tisha ada apa sebenarnya?”
“Papa baru aja tanda tangan kontrak bisnis dengan salah satu perusahaan dari Australia.”
“Wah itu mah kabar bagus dong pa, kenapa harus di sembunyiin dari Tisha?”
“Tapi masalahnya, papa akan tinggal beberapa bulan di sana dan sepertinya mama akan ikut untuk menemani papa.”
“Tapi kak Aldo tetap di sini kan pa?” Kabar yang benar-benar buruk. Aku memang senang mendengar kabar kalo papa udah menandatangani kontrak dengan salah satu perusahaan dari Australia, tapi kalau harus di tinggal beberapa bulan kayak gini aku juga mau.
“Itu juga yang jadi masalah dek. Aku di tawarin beasiswa untuk kuliah ke Jerman, gak tau kebetulan atau gak keberangkatan aku bersamaan sama keberangkatan papa dan mama.”
Satu kabar yang membahagiakan sekaligus menyebalkan hari ini. Kak Aldo emang pintar banget, terbukti dia bisa dapetin beasiswa ke Jerman sesuai dengan impian yang dia harapkan. Aku juga turut bahagia dengernya. Tapi di lain sisi, aku juga harus kehilangan dia dan bertepattan dengan kepergian mama dan papa ke Australia. Sungguh amat tragis kabar yang aku dapat di malam ini.
“Terus aku di rumah sendirian gitu? Kok kalian jahat sih ninggalin aku sendirian?”
“Maaf sayang, tapi keadaannya memang kayak gini. Kan ada mbok Inah yang bisa nemenin kamu, kalau gak minta temenin Teddy aja sayang, pasti dia mau nemenin kamu.”
“Gak tau deh ma. Aku ke kamar duluan ya, capek.” Udah males banget lagi ngelanjutin pembicaraan di meja makan ini. Sambil berlari menuju kamar, aku sekilas mendengar suara mama dan papa yang memanggil nama ku. Tapi aku tidak memperdulikannya.
Sampai di kamar, aku sudah tidak tahan lagi menampung air mata di pelupuk mata ku. Bukannya aku cengeng, tapi dari kecil aku tidak pernah terpisahkan dari mereka. Dan kali ini adalah kali pertama aku harus di tinggal pergi mereka dalam waktu yang tidak sebentar. Dengan masih berlinang aku mengambil ponsel ku dan memencet sederetan nomor telepon yang sudah aku hafal di luar kepala.
“Ha.. lo...” Suara ku bergetar menahan tangis.
“Tisha kamu nangis? Kenapa?”
“A.. ku...”
“Sekarang tenangin diri kamu dulu. Atur nafas, terus ceritain kamu kenapa.”
“Mama sama papa ada bisnis di Australia, terus kak Aldo dapat beasiswa ke Jerman.”
“Wah kabar bagus dong itu sha. Terus kenapa kamu malah nangis? Harusnya kamu seneng dong.”
“Ihh Teddy kamu gimana sih? Itu artinya kan aku bakalan di tinggalin sendirian, kamu kan tau dari kecil aku gak pernah di tinggalin sendirian sama mereka.”
“Jangan manja deh sha. Kamu udah gede, bentar lagi 17 tahun masa karena cuma di tinggal beberapa bulan aja kamu nangis kayak gitu. Kamu fikir deh sha, itu kan kesempatan baik buat mama, papa, sama kakak kamu. Kesempatan itu gak akan datang dua kali kan? Lagi pula kan masih ada mbok Inah, aku juga mau kok nemenin kamu sha.”
“Terus gimana acara ulang tahun ku bulan depan? Masa aku harus ngerayain ulang tahun tanpa mereka? Kan kamu juga tau kalau mama, papa, dan kak Aldo sangat berarti dalam hidupku.”
“Iya aku tau. Sangat tau. Sha, dengerin aku ya. Kamu harus berfikir rasional jangan mementingkan urusan kamu aja, masa cuma karena kamu takut mereka gak datang di acara kamu, mereka harus membatalkan semua planning yang udah tersusun? Gak adil sha buat mereka? Kamu ngerti kan maksud aku?”
“Iya aku ngerti.”
“Yaudah sekarang kamu tidur. Aku tau kamu pasti bisa ngambil keputusan yang benar. Nice dream sha.”

***

“Kalau gitu kita batalkan saja ma, kepergian kita.”
“Tapi, papa kan udah terikat kontrak mana bisa papa membatalkannya begitu saja. Biar mama yang ga usah pergi pa.”
“Mama sama papa pergi aja, Tisha gak apa-apa kok di rumah sendirian. Kan ada mbok Inah.”
“Tisha? Kamu yakin?”
“Yakin pa.”
“Makasih ya sayang kamu udah ngertiin mama sama papa. Mama bangga sama kamu.”
“Iya ma sama-sama. Sukses ya buat kak Aldo, nanti jangan lupa main-main ke Indonesia dan hubungin aku.”
“Iya dek, pasti.”
“Yaudah aku berangkat sekolah dulu ya ma, pa.”
“Hati-hati ya sayang.”

***


“Ma, pa, jangan lupa ya telepon aku kalau udah sampai.”
“Pasti sayang, kamu jaga diri baik-baik ya dan salam buat Teddy.”
“Iya ma.”
“Papa berangkat dulu ya sayang.”
“Hati-hati ya pa.” Sedih rasanya harus melihat mereka pergi meninggalkan aku sendiri. Air mata ku kembali berlinang. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju pintu keluar bandara. Karena tidak konsentrasi, aku menabrak seseorang hingga barang bawaannya terjatuh. Cepat-cepat aku membantunya merapikan barang bawaannya yang berserakan di lantai.
“Maaf, saya tidak sengaja.”
“Gak apa-apa. Loh kamu?” Ternyata orang yang aku tabrak adalah Elang. Mau apa dia di sini? Tapi sikapnya sangat berbeda. Dia begitu lembut dan ramah tidak seperti sebelumnya.
“Elang? Kok kamu ada di sini?”
“Ehm iya, aku baru aja nganterin mama yang mau ke London menyusul papa. Kamu sendiri ngapain di sini?”
“Sama, aku juga abis nganterin mama sama papa.”
“Pantes mukanya sembab begitu.” Elang berkata seperti itu sambil tersenyum. Hah? Elang senyum? Baru kali ini aku melihatnya tersenyum. Senyum yang tulus dan terlihat manis. Aku baru tau dia punya senyum semanis itu yang mampu meruntuhkan kebencian ku padanya.
“Terkagum-kagum ya liat senyum ku?”
Aku tersontak mendengar pertanyaan Elang barusan. Darimana dia tau kalau aku kagum melihat dia tersenyum seperti itu?
“Jangan kepedean deh jadi orang.” Jawab ku ngeles.
“Udah lah lupain aja. Kamu lapar gak? Kita makan dulu yuk.”
“Ehm boleh deh.”

   /***
Baca Selengkapnya Yaa :D

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Free Music at divine-music.info