hthtththth. Diberdayakan oleh Blogger.

Kesaksian Kebun Teh #Part 11

15
Lima tahun kemudian...
“Dinda, gimana kabar kamu pagi ini? Mama bawa seseorang nih buat kamu.”
“Lalalala... Kamu jahat hahaha... Kamu jahat...”
“Kamu temani Dinda dulu ya Di, tante gak sanggup melihat keadaan dia seperti ini.”
“Baik tante.”
“Din, aku punya sesuatu buat kamu.”
“Aku udah gak suci lagi... Kamu udah merenggutnya hahaha... Kamu jahaaaatttttt... Aku, benci kamu hahaha”
“Din, cukup. Kamu harus sembuh. Aku gak bisa lihat kamu kayak gini.”
“Kamu... siapa? Mau ngapaian kesini?”
“Aku Aldi, sahabat kamu. Kamu gak inget sama aku?”
“Aldi... Aldi... hahahaha”
“Din ini scrapbook buat kamu. Sebenarnya ini hadiah ulang tahun kamu waktu itu. Karena aku tau kamu jadian sama Elang, aku gak berani kasih ini ke kamu.”
“Elang... Elang jahat... Dia pembohong... hahahaha”
“Ini aku buat sendiri Din. Di dalamnya foto-foto kita berdua, dari masih kecil sampai udah besar kayak sekarang. Coba deh kamu liat. Fotonya lucu-lucu kan?”
“Foto... Ini aku?”
“Iya Din ini kamu.”
“Ini bukan aku... Dia jelek... aku kan cantik ehmmmm”
“Din asal kamu tau, aku sayang banget sama kamu. Bukan Vinna yang aku cintai, tapi kamu Din. Apa kamu gak tau gimana perasaan aku ke kamu? Aku akan tetap terima kamu apa adanya. Aku gak perduli keadaan kamu yang sekarang. Yang aku tau, aku cinta sama kamu Din.”
“Cin... ta. Apa itu cinta?”
“Aku cinta kamu Dinda.” ucap Aldi sambil memeluk Dinda dengan erat.
Aldi tak kuasa menahan tangis melihat kondisi Dinda seperti itu. Sejak kejadian malam itu, kondisi psikis Dinda memang terganggu. Sudah beberapa dokter mencoba menyembuhkannya, tapi tetap saja Dinda tidak bisa kembali seperti Dinda yang dulu.
Tekanan batin yang menderanya secara tiba-tiba telah membuat kondisi psikis Dinda terganggu. Kejadian beberapa tahun yang lalu, benar-benar mengguncang Dinda.

“Tante, bolehkah aku mengajak Dinda ke Bandung?”
“Untuk apa Di? Bukankah itu hanya akan membuat Dinda teringat akan masa lalunya?”
“Aku mau bawa dia ke kebun teh tante. Dinda sangat senang kalau ke sana. Iya aku harap dia akan lebih tenang kalau dia ada di sana.”
“Baiklah tante izinkan kamu. Tolong jaga Dinda baik-baik.”
“Pasti tante. Makasih atas kepercayaan tante sama Aldi. Aldi janji akan buat Dinda pulih seperti semula. Ini semua Aldi lakukan buat tante, om, dan terutama Dinda. Karena Aldi juga sayang sama Dinda tante. Apapun yang terjadi sama Dinda, Aldi akan berusaha untuk tetap menerima dia.”
“Dinda beruntung punya kamu Nak.”

16
“Kita udah sampai. Ayo Din turun.”
Aldi menuntun Dinda berjalan di jalan setapak kebun teh ini. Kebun teh yang sama saat Dinda bertemu dengan Elang.
“Aku gak mau di sini. Aku mau pulang. Aku mau pulang.”
“Din dengerin aku. Kamu harus bangkit. Lupakan masa lalu. Jangan kamu jadikan masa lalu sebagai penghambat masa depan kamu. Kamu harus bangkit Din. Kamu gak kasian sama mama, ayah, dan kak Lisa? Setiap hari mereka nangis ngeliat kondisi kamu kayak gini. Masih banyak Din yang sayang sama kamu. Termasuk aku.”
“Ka... mu?”
“Iya aku. Aku cinta sama kamu Din. Bagaimana pun kondisi kamu saat ini, aku gak perduli.”
“Bohong... semua omongan laki-laki gak bisa diterima. Aku gak percaya sama kamu. Aku mau pulang.”
“Din, please. Percaya sama aku.”
“Coba Din, kamu rasakan udara di sini. Kamu hirup terus kamu teriak sekuat-kuatnya. Supaya fikiran kamu jadi tenang.”
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa..............”
“Benar kata-kata kamu Di, aku harus bangkit. Aku gak boleh terus-terusan kayak gini. Aku gak boleh nengok ke belakang lagi. Aku harus melangkah maju.”
“Dinda, ini kamu? Alhamdulillah, terima kasih ya Allah.”
“Makasih Di, kamu udah menyadarkan ku. Hidupku belum berakhir. Ini adalah awal dari kehidupan yang sesungguhnya. Mungkin perjalanan hidup masa lalu ku buram, gak seindah kebun teh ini. Tapi kebun teh ini akan menjadi saksi perjalanan masa depan ku yang bahagia bersama, kamu Aldi.”

“Aku cinta kamu Dinda, sampai kapanpun.”
Baca Selengkapnya Yaa :D

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kesaksian Kebun Teh #Part 10

14
Sudah seminggu ini aku gak mendapat kabar dari Elang. Bahkan nomornya sudah gak aktif lagi. Aku tanya semua teman kampusnya, tapi gak ada yang tau dimana keberadaan Elang. Dia seperti hilang ditelan bumi.
Aldi menyuruhku melupakan Elang. Dia bilang gak tega melihat ku seperti ini. Hanya mengurung diri di kamar saja. Aldi sampai kehabisan akal untuk menyuruh ku ke luar kamar. Seperti saat ini.
“Ayo dong Din, kita cari makan di luar. Di angkringan yang waktu itu gimana? Nanti kan kita bisa main di kebun teh. Kamu kan suka banget sama kebun teh.”
Ada aja hal yang mengingatkanku pada Elang. Kebun teh di samping angkringan itu adalah tempat dimana pertama kalinya aku bertemu Elang lagi semenjak aku menginjakkan kaki ku di kota Paris van Java ini.
“Din, jawab dong. Kok bengong aja sih?”
“Gw mau di kamar aja.”
“Lu gak bosen apa ya? Udah seminggu loh lu ngurung diri di kamar aja. Ke luar cuma buat ke kampus, abis itu balik lagi ke kamar. Gw aja bosen ngeliatin lu kayak gitu terus. Atau kita ke Trans Studio Bandung aja? Kita kan belum pernah ke sana.”
Lagi-lagi ucapan Aldi mengingatkan ku pada Elang. Dulu dia sempat berjanji akan membawa ku jalan-jalan ke Trans Studio Bandung. Namun belum sempat ke sana, kini dia hilang entah kemana.
“Din, gw capek ya ngeliat lu kayak gini. Kenapa sih yang ada di otak lu tuh cuma Elang, Elang, dan Elang. Gak ada yang lain apa. Dia tuh udah gak peduli sama lu.”
“Gw yakin kok dia akan datang pada waktunya.”
“Kapan? Sampai lu bosen mengurung diri di kamar? Atau apa?”
Never mind, I’ll find someone like you. I wish nothing but the best for you too. Don’t forget me.....
“Assalamualaikum. Elang kamu tuh kemana aja sih?”
“............................”
“Sekarang? Yaudah aku ke situ. Tunggu aku di sana ya.”
“............................”
“Daaaahhh...”
“Gw harus pergi.”
“Lu mau kemana?”
“Gw mau ketemu Elang, Di.”
“Gw ikut.”
“Tolong Di, biarin gw sama Elang nyelesaiin masalah kita. Gw baik-baik aja kok. Lu percaya sama gw ya.”
“Yaudah, tapi kalau ada apa-apa kabarin gw.”
“Iya.”

Elang mengajakku ketemuan di kebun teh. Tempat dimana aku bertemu dia untuk pertama kalinya. Tempat di mana dia menyatakan perasaannya padaku satu bulan yang lalu. Suara Elang gamang saat di telpon tadi. Aku khawatir dia kenapa-kenapa.
Setengah jam aku menunggu, tapi tanda-tanda dia akan datang belum juga ada. Hari semakin sore, ada rasa ingin pulang karena aku takut sendirian di kebun teh ini. Tidak ada seorang pun yang ada di sini.
“Din...”
“Elang?”
Aku senang melihat keadaannya yang baik-baik saja. Spontan aku memeluknya dengan erat. Air mata perlahan menetes dari mata ku. Air mata kebahagiaan.
“Kamu dari mana aja sih? Kenapa gak pernah ngasih kabar ke aku? Aku tuh khawatir tau gak. Takut ada apa-apa sama kamu.”
“Kamu tenang dulu ya. Duduk dulu.”
Mata Elang memancarkan sebuah kesedihan. Ucapannya terdengar getir. Tangannya dingin. Tetapi dia tetap berusaha tersenyum walaupun pahit.
“Kamu sakit?”
“Gak sayang, ada sesuatu hal yang harus aku bilang ke kamu.”
“Apa?”
Elang menunjukkan sebuah cincin yang melingkar di jari manis kirinya. Sebuah cincin emas putih yang berkilau terkena sinar matahari yang akan pulang ke peraduannya.
Air mata ku kembali menetes, kali ini lebih deras. Aku tidak sanggup lagi menahannya. Seminggu dia gak memberi kabar dan sekarang dia datang dengan cincin emas di jari manis kirinya. Orang awam sekali pun tau apa tujuan cincin dilingkarkan di jari itu.
“Kamu jangan nangis, aku mohon. Aku gak bisa lihat kamu nangis kayak gini. Tolong Dinda.”
“Aku nangis bukan karena cincin ini, aku nangis karena janji kamu. Aku sakit kamu perlakuin kayak gini. Mana janji kamu sepuluh tahun yang lalu? Bukankah kamu ikrarkan lagi satu bulan yang lalu? Mana janji itu Lang, mana? Ah mungkin aku aja yang terlalu bodoh mempercayai semua kata-katamu. Mungkin benar kata Aldi, harusnya aku sudah melupakanmu sejak kepergianmu tempo hari.”
“Din, tolong kasih aku waktu buat jelasin semuanya. Ini emang salah aku, aku akui itu. Tapi ini juga bukan kehendak aku. Aku punya penjelasan atas semua ini.”
“Gak perlu. Aku udah ngerti kok, mungkin memang cukup sampai di sini.”
“Din, tolong Din. Beri aku kesempatan untuk jelasin semuanya Din. Supaya ini semua gak jadi salah paham. Please!”
Aku gak tega melihat Elang memohon seperti itu. Walaupun hati ku sakit, tapi aku yakin Elang juga tersiksa dengan kondisinya sekarang. Dan mungkin benar apa kata Elang, ini semua bukan keinginannya.
“Apa yang mau kamu jelasin?”
“Makasih Din, kamu dah mau kasih aku waktu.”
Elang terdiam sejenak. Dia mencari kata-kata yang pas untuk menjelaskannya kepadaku.
“Aku dijodohin Din. Memang klasik. Aku sudah mencoba untuk menolaknya, tapi ibu sama ayah terus mendesakku untuk bersanding dengan perempuan pilihannya. Aku sudah meminta mereka untuk mencoba mengenal pilihan hatiku, tapi mereka menolak. Sebenarnya beberapa hari yang lalu, aku pergi dari rumah.”
“Kenapa?”
“Aku berontak Din. Aku udah besar. Aku bisa mencari pendamping hidupku sendiri. Bahkan aku udah menemukannya, kamu Din. Cuma kamu yang pantas mendampingiku. Tapi mereka selalu ngotot dan gak pernah peduli dengan alasan ku. Sampai aku senekat itu pergi dari rumah.”
“Lalu apa yang buat kamu menerima keputusan orang tua kamu?”
“Terpaksa Din. Saat tau aku pergi dari rumah, ibu kena serangan jantung. Bahkan sempat kritis beberapa hari. Aku gak tega melihat kondisi ibu seperti itu. Akhirnya aku memutuskan untuk menikah dengan perempuan pilihan ibu. Walaupun berat. Tapi aku gak mau Din, jadi racun yang membunuh ibuku sendiri.”
Elang tertunduk lemas. Aku tau posisi dia pasti serba salah. Dia harus memilih ayah dan ibunya yang telah merawat dia sampai sekarang ini, atau aku perempuan biasa yang baru ditemuinya sepuluh tahun yang lalu dan baru menjadi kekasihnya satu bulan yang lalu.
“Siapa perempuan itu Lang?”
Dia tidak menjawab.
“Siapa Lang? Aku hanya ingin tau siapa perempuan itu? Aku cuma mau bilang ke dia, tolong jagain separuh hati aku. Aku cuma pengen bilang itu Lang. Tolong kasitau siapa dia?”
“Elang, ayo pulang. Aku jamuran nih nungguin kamu di mobil.”
Aku terpaku melihat perempuan yang ada di hadapan ku sekarang. Begitupun Elang. Mungkin dia juga tidak menyangka perempuan itu akan muncul di hadapan kita.
“Vi... Vin... nnaaa...?”
“Loh jadi yang mau kamu temui itu Dinda, Lang? Kenapa kamu gak bilang sama aku sih? Kan aku sama Dinda udah lama gak ketemu. Kamu apa kabar Din?”
“Baa... ik kok...”
“Kalian kenapa sih? Kok mukanya tegang banget?”
“Ehm gak kok Vin, oh ya selamat ya aku denger kamu mau nikah sama E... lang.”
“Wah kamu udah tau ya, makasih ya Din. Aku harap kamu bisa datang di acara pernikahan ku nanti.”
“Akan aku usahakan. Kalau gitu aku pulang dulu Vin, ada janji sama Aldi soalnya. Gw pulang dulu ya... Lang. Permisi.”
“Din... Dinda tunggu.”
“Udah lah Lang, kita udah ditunggu tante Mona nih. Kita kan mau jemput tante. Ayoo...”

Aku berjalan menyelusuri jalan setapak di kebun teh ini diselimuti dinginnya angin malam. Malam ini begitu indah, tapi tidak seindah hatiku. Hatiku hancur berkeping-keping mendengar semua pengakuan Elang barusan. Dan yang harus aku terima pula adalah kenyataan bahwa Vinna, perempuan yang dicintai Aldi, sahabatku yang menjadi pendampingnya.
Lengkap sudah penderitaan ku malam ini. Di ujung jalan aku melihat segerombolan pemabuk yang sedang memperhatikan ku. Aku takut, amat takut. Mereka berjalan mendekat. Aku berlari ke dalam kebun  teh, berusaha sekuat tenaga agar tidak tertangkap oleh gerombolan orang itu.
Tapi sayang, aku hanya seorang perempuan yang lemah yang tidak mempunyai kekuatan. Aku terjatuh. Mereka berlima tertawa puas melihat aku terduduk lemas. Aku hanya bisa menangis sambil mencoba berteriak. Namun sayang, tak ada orang sama sekali. Ini sudah malam, apalagi ini di kebun teh.
Satu orang dari mereka berjalan ke arah ku. Dengan muka penuh gairah dia melucuti semua pakaian ku. Dia merenggut keperawananku. Mereka bergilir satu persatu melakukannya. Fenomena yang sungguh amat tragis.

Mereka tertawa puas. Aku hanya bisa terus menangis. Aku tergulai lemas. Aku sudah tidak bisa berpikir apapun. Rasa sakit hati yang baru saja aku rasakan ditambah dengan perasaan kecewa karena tidak bisa menjaga keperawananku bercampur menjadi satu. Aku terus menangis kemudian aku pingsan tak sadarkan diri.
Baca Selengkapnya Yaa :D

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kesaksian Kebun Teh #Part 9

12
“Din, jalan dulu yuk. Kan hari ini kita satu bulan nih. Lagian masih siang, dari pada kamu bengong-bengong aja di kostan.”
“Ehm  mau gak ya?”
“Mulai deh ngeselin.”
“Hehehe iya aku mau kok. Mau kemana tapi kita?”
It’s a beautiful night. We’re looking for something dumb to do. Hey baby, i think i wanna marry you.....
“Bentar Din, ibu aku telpon nih.”
“Hallo assalamualaikum bu, kenapa?”
“..........................”
Entah apa yang dibicarakan Elang dan ibunya. Aku tidak bisa mendengarnya. Tapi nampaknya sangat penting, karena mimik muka Elang terlihat sangat serius dan sedikit kecewa.
“Tapi bu, aku ada janji sama temen.”
“.........................”
“Yaudah aku pulang sekarang. Tapi aku nganterin temen aku pulang dulu ya bu. Sebentar kok, gak lama, janji.”
“.........................”
“Iya bu, yaudah assalamualaikum.”
“Maaf Din, nunggu lama ya?”
“Gak apa-apa kok Lang. Kamu disuruh pulang ya?”
“Iya nih Din, maaf banget ya kita gak jadi pergi. Tapi lain kali aku janji bakal ngikutin kemana pun kamu mau.”
“Ih gak apa-apa lagi, kan kita masih bisa ketemu besok-besok.”
“Yaudah sekarang aku anter kamu pulang. Ini pakai helm kamu.”
“Makasih.”

“Aku pulang dulu ya.”
“Hati-hati ya, kabarin kalau udah sampai rumah.”
“Iya sayang, daaahhhh”
“Daaahhhh”
Saat hendak masuk ke kostan, aku dijegat oleh Aldi. Lagi-lagi dia bikin masalah. Minta dihajar kali ya ini anak. Gak tau apa gw lagi bete gak jadi pergi sama Elang.
“Ada yang perlu gw omongin sama lu.”
“Tentang apa sih?”
“Ayo ikut gw.”
Aldi menarik tangan ku. Dia mengajak ku ke taman belakang komplek. Tumben sekali taman ini sangat sepi.
“Duduk sini.”
Aldi menyuruh ku duduk. Mimik mukanya gak bisa dibaca. Antara bingung, penasaran, heran, atau entahlah aku pun bingung melihatnya. Bukannya duduk di samping ku, dia malah berjalan mondar mandir di depan ku.
“Lu kenapa sih nong? Katanya mau ngomong tapi sekarang malah mondar mandir gak jelas gitu. Pusing tau gw ngelihat lu kayak gitu.”
“Aduh gw bingung nih mulai darimana.”
“Aneh banget sih lu nong, udah deh mendingan sekarang lu duduk, terus lu ceritain ke gw ada apa sebenarnya.”
Dia menuruti apa yang aku katakan. Aldi berhenti mondar mandir. Kemudian dia duduk di samping ku. Tapi gak langsung menceritakan apa yang dia ingin katakan. Dia kembali diam tanpa suara.
“Jenooonnggg, ayo dong cerita.”
“Gw tadi lihat Vinna sama seorang wanita di cafe.”
“Terus?”
“Wanita itu ingin menjodohkan Vinna dengan anak laki-lakinya. Begitulah yang aku dengar dari seorang waitres yang aku suruh untuk mencari tau percakapan mereka.”
“Oh aku tau, kamu cemburu ya karena Vinna mau dijodohin? Yaudah mendingan sekarang kamu nyatain perasaan kamu ke Vinna, sebelum terlambat nong.”
“Loh kok?”
“Udahlah, ayo bangun. Sekarang kamu ke rumah Vinna dan nyatain perasaan kamu.”
“Tapi...”
“Udah, sana pergi.”
“Tapi Din...”
“Aldi, gw cuma mau lihat lu bahagia. Sana pergi.”
“Baiklah.”
“Dasar jenong.”
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala ku melihat kelakuan aneh Aldi. Ternyata dia hanya cemburu. Kenapa dia gak pernah cerita sama aku kalau dia punya perasaan sama Vinna selama ini? Mungkin ini alasan dia menjauh dari ku. Dia ragu untuk mengatakan hal itu padaku. Dasar jidat lebar.

13
Tiinnn... tiinnn... tiinnn...
“Ah itu pasti Elang. Tunggu sebentar sayang.”
Aku cepat-cepat besiap-siap dan segera menemui Elang di pintu pagar. Sesampainya di pintu pagar, ternyata bukan Elang yang datang melainkan Rudi, kekasih Luna teman kost ku.
“Lunanya ada?”
“Oh ada kok di dalam, masuk aja.” ucap ku sekenanya.
“Terimakasih.”
Aku hanya memberikan senyum kepada Rudi. Kemudian dia masuk ke dalam untuk menemui Luna, kekasihnya. Aku malas kembali ke kamar. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu Elang di pintu pagar saja. Setengah jam aku menunggu, batang hidungnya belum keliatan juga.
“Apa dia tidak menjemputku hari ini? Tapi kenapa dia gak memberi kabar? Bahkan dari semalam dia gak ada kabar.”
Kekhawatiran menyeruak memenuhi perasaan ku. Perasaan gak enak menghantui ku. Fikiran-fikiran negatif melayang-layang di kepala ku. Aku berusaha untuk menampiknya, namun sulit.
“Din, ngapain disitu? Elang belum jemput?”
Lagi-lagi Aldi mengagetkanku. Dia menyadarkan ku dari lamunan panjangku.
“Eh belum Di, gak tau nih gak ada kabar.”
“Yaudah lu berangkat sama gw aja, dari pada nanti telat ke kampusnya. Ayo jalan.”
“Tapi nanti kalau Elang jemput?”
“Dia juga pasti ngerti kok, nanti jelasin pas ketemu di kampus. Gimana?”

“Yaudah deh.”
Baca Selengkapnya Yaa :D

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kesaksian Kebun Teh #Part 8

10
Tiinnn.. tiinnn
“Itu pasti suara klakson motornya Elang.”
Sudah sebulan sejak aku memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Elang, dia selalu mengantar jemput ku ke kampus. Dengan alasan dia gak mau melihat ku kepanasan berdiri di pinggir jalan dan berdesak-desakan di dalam angkutan umum. Klasik memang. Tapi aku senang dapat perhatian yang begitu besar dari Elang.
Setelah bersiap-siap dan mematiskan tidak ada yang ketinggalan, aku segera keluar menemui Elang di pintu pagar. Aku tidak mau membuatnya lama menunggu.
“Hai, maaf ya aku lama.”
“Gak apa-apa kok Din, ayo naik.”
“Pesek, mau kemana lu?”
Tiba-tiba dari arah belakang ada suara yang memanggil ku. Suara yang amat aku kenal. Aldi.
“Mau ke kampus lah nong, kenapa? Emang lu gak ngampus?”
“Hari ini gw gak ada dosen. Padahal baru aja gw mau ngajak lu pergi. Kita kan udah lama gak jalan bareng.
“Apa maksud Aldi barusan ya? Kenapa dia berbicara seperti itu?” tanya ku dalam hati.
“Ehm mungkin lain kali ya nong, gw kan mesti ngampus nih. Udah siang nih, gw jalan duluan ya takut telat. Yuk Lang jalan.”
“Gw sama Dinda pamit ya Di.”
Bukan menyahut ucapan Elang, Aldi malah ngeloyor pergi kembali ke kostannya. Sikapnya memang aneh sejak pertemuan ku dengan dia di kamar kost ku sebulan yang lalu. Entah apa yang membuat dia berubah seperti itu. Dia gak mau mengatakan apa-apa kepada ku. Bahkan dia selalu mencari alasan jika aku tanya akan hal itu.
“Din, jalan sekarang nih?”
“Eh iya Lang.”

11
“Tante mau ketemu kamu bisa Vin?” suara tante Mona dari seberang telepon.
“Sekarang tante? Kebetulan aku lagi gak sibuk, mau ketemuan dimana tante?”
“Bagaimana kalau di cafe tempat biasa?”
“Boleh tante. Satu jam lagi aku sampai sana.”
“Makasih ya sayang.”
“Sama-sama tante.”

“Makin lama makin jauh aja hubungan gw sama pesek. Biasanya kan gw gak pernah jauh-jauhan dari dia. Semenjak dia jadian sama si burung Elang itu, dia berubah. Lebih cuek dan gak ada waktu buat gw.”
“Maaf mas, mau pesen apa?” tanya seorang waitress.
“Ehm orange juice sama fried fries aja. Gak pake lama ya mba.”
“Baik mas, silahkan menunggu.”
“Gw pesen makanan kesukaan lu tuh sek. Coba ada lu, pasti lu seneng banget gw pesenin itu.”
“Huh, gw udah kayak orang stres nih ngomong sendiri. Eh itu bukannya Vinna, sama siapa ya dia? Dan mau ngapain dia ke sini? Kok kayaknya obrolan mereka serius banget. Gw harus cari tau.”
“Maaf mas mengganggu, ini pesenan mas. Silahkan menikmati.”
“Mba tunggu, saya boleh minta tolong.”
“Kalau saya bisa bantu, pasti saya bantu. Apa mas mau pesan yang lain?”
“Bukan, bukan. Mba liat kan perempuan cantik yang bersama dengan wanita setengah baya di ujung sana?”
“Iya mas itu mba Vinna dan ibu Mona.”
“Mba mengenalnya?”
“Mereka adalah pelanggan tetap kami mas. Ada apa ya mas menanyakan mereka?”
“Saya ingin tau mereka lagi membicarakan apa. Bisa mba mencari taunya?”
“Maaf mas, saya tidak bisa. Itu sudah melanggar peraturan di sini.”
“Saya mohon mba, ini penting bagi saya. Ehm gini aja, saya akan bayar berapapun yang mba minta.”
“Ehm baiklah mas saya akan coba, tapi mas gak perlu kasih saya apa-apa. Saya ikhlas menolong mas. Permisi dulu mas.”
“Makasih mba.”

“Jadi gimana Vin, kamu mau?”
“Apa ini gak terlalu cepat tante? Pernikahan itu butuh waktu yang panjang untuk memikirkannya.”
“Tante sudah memikirkan semuanya. Dan tante rasa ini gak terlalu cepat. Bukannya kalian sudah saling mengenal? Cinta itu bisa tumbuh dengan berjalannya waktu. Tante tau kok kamu cinta kan sama anak tante.”
“Maaf ibu Mona dan mba Vinna, saya mau mengantarkan makanan.”
“Tapi kami kan belum pesan mba.”
“Ini hadiah dari cafe kami, silahkan dinikmati.”
“Makasih ya mba.”
“Sama-sama.”
“Gimana Vin? Apa kamu bersedia?”
“Baiklah tante, saya bersedia.”
“Makasih ya sayang.”

“Jadi Vinna akan dijodohkan dengan anak wanita itu. Apa mba tau siapa anak wanita itu?”
“Saya tidak tau mas. Maaf saya harus kembali bekerja, nanti atasan saya bisa marah kalau tau saya santai-santai seperti ini.”
“Oh ya silahkan. Makasih ya mba atas informasinya.”
“Sama-sama mas.”

“Siapa ya laki-laki yang akan dijodohkan sama Vinna. Gw harus cari tau. Kalau diperhatiin gw pernah liat model wajah kayak gitu. Familiar banget sama wajah wanita itu. Dimana ya tapi? Ah mungkin hanya perasaan gw aja.”
Baca Selengkapnya Yaa :D

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kesaksian Kebun Teh #Part 7

9
“Din, bangun. Kita udah sampai nih.”
Sepanjang perjalanan aku tertidur pulas. Rasa kantuk mendera ku begitu kuat, sampai-sampai aku tak kuasa untuk tidak tidur.
“Kita dimana nih Lang? Kok tempatnya gelap banget. Kamu gak ada niat jahat kan sama aku?”
“Dinda, Dinda, kamu tuh lucu banget sih. Iya gak ada lah, aku kan udah janji sama kamu buat nunjukkin sesuatu. Tapi gak sekarang, sebentar lagi ya.”
“Kenapa gak sekarang? Ini udah malem loh Lang, udah hampir jam 12.”
“Sabar dong Din, sebentaaaarrr aja. Tunggu ya. Udaranya makin dingin nih, kamu pake jaket aku ya.”
Dengan gentle Elang melepas jaket yang dia kenakan dan meletakkannya di pundak ku. Layaknya seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Belum pernah aku diperlakukan oleh laki-laki seperti ini, selain Aldi. Oh ya, Aldi kemana ya? Kenapa dia menghilang begitu cepat? Apa aku punya salah sama dia, hingga dia gak mau ketemu sama aku lagi?
“Din...”
Teguran Elang membuat aku tersadar dari lamunanku.
“Eh iya Lang, kenapa?”
“Kok bengong sih? Sekarang udah saatnya kamu lihat yang mau aku tunjukkin ke kamu.”
“Serius? Dimana? Aku udah gak sabar nih.”
“Sekarang tutup dulu mata kamu, jangan buka mata sebelum aku pinta. Apapun yang terjadi. Janji?”
“Oke aku tutup mata.”
Elang merangkul ku. Dia membantu ku berjalan. Entah mau dibawa kemana, karena mataku tertutup jadi tidak bisa melihat apa-apa.
“Sekarang kamu boleh buka mata. Tapi perlahan ya jangan buru-buru.”
Aku membuka mata perlahan. Samar-samar terlihat langit yang bertaburan dengan bintang yang memancarkan sinarnya. Tiba-tiba percikan kembang api bersahut-sahutan menambah indah pemandangan malam ini. Elang meminta ku membalikkan badan. Lilin-lilin kecil membentuk tulisan “Happy Birthday to Dinda”. Diukir dengan sangat indah.
Astaga hari ini adalah hari ulang tahun ku. Karena terlalu sibuk, aku sampai lupa. Dan Elang adalah orang pertama yang mengucapkan itu padaku. Tiba-tiba Elang bersimpuh di hadapanku dan menggenggam tanganku. Beberapa detik, aku dan Elang hanya bertatapan satu sama lain.
“Din, aku punya satu kejutan lagi buat kamu.”
“Apa Lang?” tanya ku gugup.
“Kamu lihat ke langit.”
Sebuah kembang api meluncur begitu cepat ke langit. Membentuk sebuah kalimat yang membuat aku terpaku di tempat. Bahkan sulit untuk membacanya.
“Sepuluh tahun yang lalu ada seorang anak perempuan yang sedang bermain di sungai. Tiba-tiba dia terpeleset dan hampir saja hanyut di bawa derasnya air sungai. Tapi ada seorang anak laki-laki berambut ikal yang menolongnya. Dia berusaha menyelamatkan nyawa anak perempuan itu.” ucap Elang.
“Dan anak laki-laki itu berhasil. Namun anak perempuan itu pingsan tak sadarkan diri.” ucap ku menambahkan.
“Anak laki-laki itu sangat panik melihat keadaan anak perempuan itu. Anak laki-laki itu melakukan apapun untuk membuat anak perempuan itu sadar.” Elang melanjutkan.
“Dan lagi-lagi anak laki-laki itu berhasil. Anak perempuan itu tersadar. Kemudian anak perempuan itu memeluk anak laki-laki itu karena ketakutan.” lanjutku.
“Dan anak laki-laki itu berjanji akan menjaga anak perempuan itu sampai kapan pun, walau harus mengorbankan nyawanya sekalipun. Karena anak laki-laki itu sangat mencintai anak perempuan itu.”
“Sampai sekarang?”
“Iya, bahkan sampai maut memisahkan. Din, maukah kamu jadi pendamping hidupku?”
“Gak, gak ada alasan buat bilang tidak.”
Sejak malam itu aku dan Elang resmi berpacaran. Ini adalah kado terindah di ulang tahun ku kali ini. Walaupun aku gak bisa ngerayain hari ulang tahun ku ini bersama mama, ayah, dan kak Lisa, tapi aku seneng banget bisa dapet kejutan yang tak terlupakan dari Elang.

“Makasih ya, udah nganterin aku pulang.”
“Sama-sama Din, aku pulang dulu ya. Kamu langsung tidur ya, istirahat.”
“Iya kamu juga hati-hati di jalan. Kabarin aku kalau udah sampai rumah. Daaahhhh...”
“Daahhh...”
Setelah Elang meluncur dan menghilang di tikungan komplek, aku masuk ke kamar kost dengan hati-hati. Takut ada orang lain yang melihat. Sampai di kamar aku langsung menyalakan lampu.
“Haaaaaaaaaaaaa...”
Aku berteriak ketakutan. Aku melihat seseorang di kamar ku.
“Sssstttt jangan teriak-teriak Din, nanti pada bangun lagi. Gw Aldi tau”
“Aldi? Ngapain sih lu di sini? Pake acara ngagetin gw lagi.”
“Harusnya gw yang nanya sama lu. Kenapa jam segini baru pulang? Kamu tau gak ini jam berapa?”
“Ehm.. tadi.. gw.... Ih bukan urusan lu kali. Lu belakangan ini kemana sih? Kayaknya lu menghindar dari gw. Oh ya gw mau cerita sesuatu sama lu.”
“Apa?” tanya Aldi jutek.
“Gw... baru aja... jadian sama Elang.” jawab gw penuh antusias.
“Oh”
“Ih kok ngeselin banget sih, kenapa cuma oh?”
“Terus? Gw mesti bilang wow gitu? Udah ah gw mau pulang dulu, nanti kalau ketauan sama ibu kost bisa digantung gw.”

“Jenong, gw kan belum selesai cerita. Ih dia bener-bener ngeselin.”
Baca Selengkapnya Yaa :D

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Free Music at divine-music.info