“Nganterinnya
sampai sini aja lang.”
“Kamu yakin?”
“Iya, danaunya
di depan situ kok. Nanti biar aku pulang sama Teddy. Oh ya ini jaket kamu.”
“Gak usah, kamu
pake aja. Ini udah malem nanti kamu kedinginan. Yaudah aku pulang ya, kamu
hati-hati. Kalau udah sampai rumah, sms aku ya.”
“Iya sayang.”
Setelah Elang
menjauh, aku menelurusi jalan setapak di tengah malam ini. aku terlambat satu
jam, semoga saja Teddy masih menunggu ku di sana.
Danau ini sudah
sangat sepi. Hanya terdengar suara binatang-binatang malam dan desir angin yang
membuat bulu kuduk merinding.
“Kamu telat satu
jam.” Suara Teddy mengagetkan ku.
“Ya ampun Teddy, kamu ngagetin aku aja.”
“Kenapa telat?”
“Ehm.. aku...”
“Jaket siapa
yang kamu pakai? Setau aku, kamu gak suka pake jaket semacam itu.”
“Ini jaket..
Elang..” Aku berbicara sangat hati-hati.
“Jadi kamu telat
karena abis jalan sama Elang. Kamu lebih mentingin jalan sama dia dibanding
ketemu sama aku.”
“Maafin aku Ted,
aku ga bermaksud kayak gitu.”
“Kamu tau gak kenapa
aku gak suka kamu deket sama Elang? Karena aku takut kamu suka sama dia dan
bahkan kalian sampai jadian.”
“Loh memangnya
kenapa kalau aku jadian sama Elang? Apa itu salah?”
“Apa kamu memang
udah jadian sama dia?”
“Iya, tadi dia
nyatain perasaannya ke aku.”
“Ok bagus.”
“Terus apa sih
urusannya sama kamu?
“Aku
cemburu.”
“Kamu...
cem...”
“Iya
aku cemburu. Sekarang kamu udah tau kan kenapa aku gak suka kamu deket sama
Elang. Karena aku cemburu sha. Hati aku sakit ngeliat kamu deket-deketan kayak
gitu sama Elang. Aku jauh lebih lama mengenal kamu sha, tapi kenapa dia yang
bisa milikin hati kamu. Betapa hancurnya sha perasaan aku saat ini. Kamu gak
akan pernah tau gimana rasanya.
“Ted..”
“Aku
sayang sama kamu sha semenjak pertama kali kita ketemu di tempat ini. Saat kamu
jatuh dari sepeda roda dua mu itu. Anak perempuan yang gendut dan lugu menangis
di pinggir danau. Jujur saat itu hanya rasa kasian yang aku rasakan. Tapi hari
demi hari berganti begitu cepat sha. Dan begitu cepat pula perasaan ku ini
berubah dari rasa kasian menjadi rasa sayang sampai saat ini. Anak perempuan
itu kini tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik, berkulit putih, dan berambut
panjang. Dan kini anak perempuan itu telah di miliki oleh seorang laki-laki dan
itu bukan aku, anak laki-laki yang menjadi pahlawan anak perempuan itu.”
Tetes
demi tetes air mata membasahi pipi ku. Sebuah pengakuan yang begitu menyesakkan
hati. Teddy, orang yang selama ini aku anggap sahabat yang selalu menjadi
pelindung ku menaruh hati pada ku tanpa aku tau sebelumnya. Kenapa aku harus
tau dengan cara seperti ini? Kenapa harus aku yang menyakiti hati sahabat ku
sendiri? Kenapa harus aku?
“Udah
lah sha, kamu udah tau semuanya. Aku gak bisa tetap di samping kamu menjadi
sahabat mu lagi. Mungkin aku mau menjauh dari mu untuk bisa menyembuhkan hati
luka ini sha.
“Tapi
Ted.. kamu... Ted, andai aja aku tau ini sebelum aku jadian sama Elang.”
“Kalau
kamu tau tentang perasaan aku ini sebelum kamu jadian sama Elang, emangnya kamu
bakalan ngebahas perasaan aku ini?”
“Ehm
tapi setidaknya...”
“Sha
udah cukup. Aku gak mau perpanjang masalah ini lagi. Maaf aku ga bisa nganterin
kamu pulang. Kamu hati-hati ya pulangnya.”
“Ted..
Teddy.. tunggu..”
Teddy
tidak bergeming sedikit pun. Dia tetap melangkah pergi meninggalkan ku sendiri
di tengah malam seperti ini. Aku merasa bersalah telah menyakitkan hati Teddy,
sahabat ku sendiri. Walaupun aku tidak bermaksud menyakitkan hati dia, tetap
saja sumber masalah ini adalah aku.
Aku
terduduk lemas di rerumputan pinggir danau. Memandang air danau yang bercahaya
karena terpaan sinar bintang. Suara binatang-binatang malam makin terdengar
jelas di telinga. Hari juga semakin malam. Jam di pergelangan tangan ku telah
menunjukkan pukul 11 malam. Hanya kurang 1 jam lagi, umurku akan bertambah 17
tahun.
Dengan
langkah gontai dan mata sembab, aku menelurusi langkah setapak menuju rumah ku
yang terletak tidak jauh dari danau itu. Perumahan dimana aku tinggal sudah
sangat sepi. Hanya terlihat dua satpam yang berjaga-jaga di pos. Bergegas aku
membuka gerbang rumah ku dan langsung masuk ke rumah menaikki tangga menuju
lantai dua rumah ke dimana kamar ku berada.
Hari
ini begitu sangat melelahkan. Aku tidak sanggup lagi menopang tubuh ku. aku
hempaskan tubuh ku di kasur ku yang empuk itu. Dengan sprai bermotif
bunga-bunga aku mengumpat di balik bantal. Air mata ku kembali menetes
membasahi bantal. Posisi ku tidak berubah sampai keesokan harinya.
***
Sebuah kue tart
tersaji di atas meja di tambah dengan lilin berangka 1 dan 7. Teman-teman yang
udah aku undang sudah pada berdatangan termasuk Elang. Tapi sosok laki-laki berkacamata belum juga
terlihat. Entah dia akan datang atau tidak karena kejadian semalam. Tapi aku
tetap berharap dia datang mengucapkan selamat ulang tahun untuk ku, sahabatnya.
“Sayang, kok
kamu malah bengong di sini sih? Yang lain udah nunggu kamu tuh, tiup lilinnya
dulu yuk.”
“Tapi Teddy
belum datang lang.”
“Mungkin dia
kena macet kali. Kamu udah coba hubungin ke nomornya?”
“Belum, aku ga
berani lang.”
“Loh kenapa?
Kamu lagi berantem sama dia?”
“Ya begitu lah.”
Elang tidak
berani melontarkan pertanyaan lagi. Sepertinya dia tau kalau aku sedang ingin
sendiri. Ya walaupun kondisinya tidak tepat.
Hari ini adalah
hari ulang tahun ku. Dan malam ini harusnya aku senang karena orang-orang aku
sayang termasuk Elang hadir di sini untuk merayakannya bersama ku. Tapi aku
tidak merasakan kebahagiaan itu. mungkin karen tidak ada Teddy di sini
mendampingi ku. Padahal dia berjanji akan selalu menemani ku sampai kapan pun.
Mungkin dia sudah lupa akan janjinya sendiri.
Ponsel Elang
berbunyi. Setelah berpamitan kepada ku dia pergi mencari tempat yang sepi
kemudian yang mengangkat teleponnya. Dari tempat ku sekarang aku masih bisa
memantau Elang. Aku melihat raut mukanya yang tiba-tiba berubah. Mukanya pucat
dan sangat tegang. Dia memutuskan teleponnya dan berjalan ke arah ku dengan
lemas. Dia berlutut di hadapan ku, mencoba mencari kata-kata yang pas untuk
mengatakannya pada ku.
“Kamu.. kenapa
lang?”
“A.. ku...
aku...”
“Lang, kamu
jangan buat aku panik deh. Siapa yang nelepon kamu? Terus kenapa kamu jadi
tegang begini?”
“Aku.. dapet
kabar dari.. keluarganya Teddy. Kalau Teddy...”
“Teddy kenapa
lang? Teddy kenapa?”
Aku
menggoyang-goyangkan tubuh Elang ingin segera tau apa yang terjadi dengan
Teddy. Tanpa terasa air mata ku terjatuh membasahi pipi ku.
“Lang, jawab!”
“Teddy.. Teddy
kecelakaan sha dan kondisinya sekarang kritis.”
“Apa?”
Dunia terasa
hancur berantakan. Terulang kembali rekaman masa-masa indah bersama Teddy.
Sahabat ku dari kecil yang selalu menjadi pahlawan ku di mana pun. Saat ini aku
mendengar kabar kalau dia kecelakaan dan kondisinya kritis. Baru kemarin aku
melihat dia. Wajahnya yang kecewa dengan ku, dengan perasaannya, dan keadaan.
Aku sudah gak sanggup lagi. Mata ku kunang-kunang. Aku pingsan.
***
0 comments:
Posting Komentar