14
Sudah seminggu
ini aku gak mendapat kabar dari Elang. Bahkan nomornya sudah gak aktif lagi.
Aku tanya semua teman kampusnya, tapi gak ada yang tau dimana keberadaan Elang.
Dia seperti hilang ditelan bumi.
Aldi menyuruhku
melupakan Elang. Dia bilang gak tega melihat ku seperti ini. Hanya mengurung
diri di kamar saja. Aldi sampai kehabisan akal untuk menyuruh ku ke luar kamar.
Seperti saat ini.
“Ayo dong Din,
kita cari makan di luar. Di angkringan yang waktu itu gimana? Nanti kan kita
bisa main di kebun teh. Kamu kan suka banget sama kebun teh.”
Ada aja hal yang
mengingatkanku pada Elang. Kebun teh di samping angkringan itu adalah tempat
dimana pertama kalinya aku bertemu Elang lagi semenjak aku menginjakkan kaki ku
di kota Paris van Java ini.
“Din, jawab
dong. Kok bengong aja sih?”
“Gw mau di kamar
aja.”
“Lu gak bosen
apa ya? Udah seminggu loh lu ngurung diri di kamar aja. Ke luar cuma buat ke
kampus, abis itu balik lagi ke kamar. Gw aja bosen ngeliatin lu kayak gitu
terus. Atau kita ke Trans Studio Bandung aja? Kita kan belum pernah ke sana.”
Lagi-lagi ucapan
Aldi mengingatkan ku pada Elang. Dulu dia sempat berjanji akan membawa ku
jalan-jalan ke Trans Studio Bandung. Namun belum sempat ke sana, kini dia
hilang entah kemana.
“Din, gw capek
ya ngeliat lu kayak gini. Kenapa sih yang ada di otak lu tuh cuma Elang, Elang,
dan Elang. Gak ada yang lain apa. Dia tuh udah gak peduli sama lu.”
“Gw yakin kok
dia akan datang pada waktunya.”
“Kapan? Sampai
lu bosen mengurung diri di kamar? Atau apa?”
Never
mind, I’ll find someone like you. I wish nothing but the best for you too.
Don’t forget me.....
“Assalamualaikum.
Elang kamu tuh kemana aja sih?”
“............................”
“Sekarang?
Yaudah aku ke situ. Tunggu aku di sana ya.”
“............................”
“Daaaahhh...”
“Gw harus
pergi.”
“Lu mau kemana?”
“Gw mau ketemu
Elang, Di.”
“Gw ikut.”
“Tolong Di,
biarin gw sama Elang nyelesaiin masalah kita. Gw baik-baik aja kok. Lu percaya
sama gw ya.”
“Yaudah, tapi
kalau ada apa-apa kabarin gw.”
“Iya.”
Elang mengajakku
ketemuan di kebun teh. Tempat dimana aku bertemu dia untuk pertama kalinya. Tempat
di mana dia menyatakan perasaannya padaku satu bulan yang lalu. Suara Elang
gamang saat di telpon tadi. Aku khawatir dia kenapa-kenapa.
Setengah jam aku
menunggu, tapi tanda-tanda dia akan datang belum juga ada. Hari semakin sore,
ada rasa ingin pulang karena aku takut sendirian di kebun teh ini. Tidak ada
seorang pun yang ada di sini.
“Din...”
“Elang?”
Aku senang
melihat keadaannya yang baik-baik saja. Spontan aku memeluknya dengan erat. Air
mata perlahan menetes dari mata ku. Air mata kebahagiaan.
“Kamu dari mana
aja sih? Kenapa gak pernah ngasih kabar ke aku? Aku tuh khawatir tau gak. Takut
ada apa-apa sama kamu.”
“Kamu tenang
dulu ya. Duduk dulu.”
Mata Elang
memancarkan sebuah kesedihan. Ucapannya terdengar getir. Tangannya dingin.
Tetapi dia tetap berusaha tersenyum walaupun pahit.
“Kamu sakit?”
“Gak sayang, ada
sesuatu hal yang harus aku bilang ke kamu.”
“Apa?”
Elang menunjukkan
sebuah cincin yang melingkar di jari manis kirinya. Sebuah cincin emas putih
yang berkilau terkena sinar matahari yang akan pulang ke peraduannya.
Air mata ku
kembali menetes, kali ini lebih deras. Aku tidak sanggup lagi menahannya.
Seminggu dia gak memberi kabar dan sekarang dia datang dengan cincin emas di
jari manis kirinya. Orang awam sekali pun tau apa tujuan cincin dilingkarkan di
jari itu.
“Kamu jangan
nangis, aku mohon. Aku gak bisa lihat kamu nangis kayak gini. Tolong Dinda.”
“Aku nangis
bukan karena cincin ini, aku nangis karena janji kamu. Aku sakit kamu perlakuin
kayak gini. Mana janji kamu sepuluh tahun yang lalu? Bukankah kamu ikrarkan
lagi satu bulan yang lalu? Mana janji itu Lang, mana? Ah mungkin aku aja yang
terlalu bodoh mempercayai semua kata-katamu. Mungkin benar kata Aldi, harusnya
aku sudah melupakanmu sejak kepergianmu tempo hari.”
“Din, tolong
kasih aku waktu buat jelasin semuanya. Ini emang salah aku, aku akui itu. Tapi
ini juga bukan kehendak aku. Aku punya penjelasan atas semua ini.”
“Gak perlu. Aku
udah ngerti kok, mungkin memang cukup sampai di sini.”
“Din, tolong
Din. Beri aku kesempatan untuk jelasin semuanya Din. Supaya ini semua gak jadi
salah paham. Please!”
Aku gak tega
melihat Elang memohon seperti itu. Walaupun hati ku sakit, tapi aku yakin Elang
juga tersiksa dengan kondisinya sekarang. Dan mungkin benar apa kata Elang, ini
semua bukan keinginannya.
“Apa yang mau
kamu jelasin?”
“Makasih Din,
kamu dah mau kasih aku waktu.”
Elang terdiam
sejenak. Dia mencari kata-kata yang pas untuk menjelaskannya kepadaku.
“Aku dijodohin
Din. Memang klasik. Aku sudah mencoba untuk menolaknya, tapi ibu sama ayah
terus mendesakku untuk bersanding dengan perempuan pilihannya. Aku sudah
meminta mereka untuk mencoba mengenal pilihan hatiku, tapi mereka menolak.
Sebenarnya beberapa hari yang lalu, aku pergi dari rumah.”
“Kenapa?”
“Aku berontak
Din. Aku udah besar. Aku bisa mencari pendamping hidupku sendiri. Bahkan aku
udah menemukannya, kamu Din. Cuma kamu yang pantas mendampingiku. Tapi mereka
selalu ngotot dan gak pernah peduli dengan alasan ku. Sampai aku senekat itu
pergi dari rumah.”
“Lalu apa yang
buat kamu menerima keputusan orang tua kamu?”
“Terpaksa Din.
Saat tau aku pergi dari rumah, ibu kena serangan jantung. Bahkan sempat kritis
beberapa hari. Aku gak tega melihat kondisi ibu seperti itu. Akhirnya aku
memutuskan untuk menikah dengan perempuan pilihan ibu. Walaupun berat. Tapi aku
gak mau Din, jadi racun yang membunuh ibuku sendiri.”
Elang tertunduk
lemas. Aku tau posisi dia pasti serba salah. Dia harus memilih ayah dan ibunya
yang telah merawat dia sampai sekarang ini, atau aku perempuan biasa yang baru
ditemuinya sepuluh tahun yang lalu dan baru menjadi kekasihnya satu bulan yang
lalu.
“Siapa perempuan
itu Lang?”
Dia tidak
menjawab.
“Siapa Lang? Aku
hanya ingin tau siapa perempuan itu? Aku cuma mau bilang ke dia, tolong jagain
separuh hati aku. Aku cuma pengen bilang itu Lang. Tolong kasitau siapa dia?”
“Elang, ayo
pulang. Aku jamuran nih nungguin kamu di mobil.”
Aku terpaku
melihat perempuan yang ada di hadapan ku sekarang. Begitupun Elang. Mungkin dia
juga tidak menyangka perempuan itu akan muncul di hadapan kita.
“Vi... Vin...
nnaaa...?”
“Loh jadi yang
mau kamu temui itu Dinda, Lang? Kenapa kamu gak bilang sama aku sih? Kan aku
sama Dinda udah lama gak ketemu. Kamu apa kabar Din?”
“Baa... ik
kok...”
“Kalian kenapa
sih? Kok mukanya tegang banget?”
“Ehm gak kok
Vin, oh ya selamat ya aku denger kamu mau nikah sama E... lang.”
“Wah kamu udah
tau ya, makasih ya Din. Aku harap kamu bisa datang di acara pernikahan ku
nanti.”
“Akan aku
usahakan. Kalau gitu aku pulang dulu Vin, ada janji sama Aldi soalnya. Gw
pulang dulu ya... Lang. Permisi.”
“Din... Dinda
tunggu.”
“Udah lah Lang,
kita udah ditunggu tante Mona nih. Kita kan mau jemput tante. Ayoo...”
Aku berjalan menyelusuri
jalan setapak di kebun teh ini diselimuti dinginnya angin malam. Malam ini
begitu indah, tapi tidak seindah hatiku. Hatiku hancur berkeping-keping
mendengar semua pengakuan Elang barusan. Dan yang harus aku terima pula adalah
kenyataan bahwa Vinna, perempuan yang dicintai Aldi, sahabatku yang menjadi
pendampingnya.
Lengkap sudah
penderitaan ku malam ini. Di ujung jalan aku melihat segerombolan pemabuk yang
sedang memperhatikan ku. Aku takut, amat takut. Mereka berjalan mendekat. Aku
berlari ke dalam kebun teh, berusaha
sekuat tenaga agar tidak tertangkap oleh gerombolan orang itu.
Tapi sayang, aku
hanya seorang perempuan yang lemah yang tidak mempunyai kekuatan. Aku terjatuh.
Mereka berlima tertawa puas melihat aku terduduk lemas. Aku hanya bisa menangis
sambil mencoba berteriak. Namun sayang, tak ada orang sama sekali. Ini sudah
malam, apalagi ini di kebun teh.
Satu orang dari
mereka berjalan ke arah ku. Dengan muka penuh gairah dia melucuti semua pakaian
ku. Dia merenggut keperawananku. Mereka bergilir satu persatu melakukannya.
Fenomena yang sungguh amat tragis.
Mereka tertawa
puas. Aku hanya bisa terus menangis. Aku tergulai lemas. Aku sudah tidak bisa
berpikir apapun. Rasa sakit hati yang baru saja aku rasakan ditambah dengan
perasaan kecewa karena tidak bisa menjaga keperawananku bercampur menjadi satu.
Aku terus menangis kemudian aku pingsan tak sadarkan diri.
0 comments:
Posting Komentar