hthtththth. Diberdayakan oleh Blogger.

Kesaksian Kebun Teh #Part 10

14
Sudah seminggu ini aku gak mendapat kabar dari Elang. Bahkan nomornya sudah gak aktif lagi. Aku tanya semua teman kampusnya, tapi gak ada yang tau dimana keberadaan Elang. Dia seperti hilang ditelan bumi.
Aldi menyuruhku melupakan Elang. Dia bilang gak tega melihat ku seperti ini. Hanya mengurung diri di kamar saja. Aldi sampai kehabisan akal untuk menyuruh ku ke luar kamar. Seperti saat ini.
“Ayo dong Din, kita cari makan di luar. Di angkringan yang waktu itu gimana? Nanti kan kita bisa main di kebun teh. Kamu kan suka banget sama kebun teh.”
Ada aja hal yang mengingatkanku pada Elang. Kebun teh di samping angkringan itu adalah tempat dimana pertama kalinya aku bertemu Elang lagi semenjak aku menginjakkan kaki ku di kota Paris van Java ini.
“Din, jawab dong. Kok bengong aja sih?”
“Gw mau di kamar aja.”
“Lu gak bosen apa ya? Udah seminggu loh lu ngurung diri di kamar aja. Ke luar cuma buat ke kampus, abis itu balik lagi ke kamar. Gw aja bosen ngeliatin lu kayak gitu terus. Atau kita ke Trans Studio Bandung aja? Kita kan belum pernah ke sana.”
Lagi-lagi ucapan Aldi mengingatkan ku pada Elang. Dulu dia sempat berjanji akan membawa ku jalan-jalan ke Trans Studio Bandung. Namun belum sempat ke sana, kini dia hilang entah kemana.
“Din, gw capek ya ngeliat lu kayak gini. Kenapa sih yang ada di otak lu tuh cuma Elang, Elang, dan Elang. Gak ada yang lain apa. Dia tuh udah gak peduli sama lu.”
“Gw yakin kok dia akan datang pada waktunya.”
“Kapan? Sampai lu bosen mengurung diri di kamar? Atau apa?”
Never mind, I’ll find someone like you. I wish nothing but the best for you too. Don’t forget me.....
“Assalamualaikum. Elang kamu tuh kemana aja sih?”
“............................”
“Sekarang? Yaudah aku ke situ. Tunggu aku di sana ya.”
“............................”
“Daaaahhh...”
“Gw harus pergi.”
“Lu mau kemana?”
“Gw mau ketemu Elang, Di.”
“Gw ikut.”
“Tolong Di, biarin gw sama Elang nyelesaiin masalah kita. Gw baik-baik aja kok. Lu percaya sama gw ya.”
“Yaudah, tapi kalau ada apa-apa kabarin gw.”
“Iya.”

Elang mengajakku ketemuan di kebun teh. Tempat dimana aku bertemu dia untuk pertama kalinya. Tempat di mana dia menyatakan perasaannya padaku satu bulan yang lalu. Suara Elang gamang saat di telpon tadi. Aku khawatir dia kenapa-kenapa.
Setengah jam aku menunggu, tapi tanda-tanda dia akan datang belum juga ada. Hari semakin sore, ada rasa ingin pulang karena aku takut sendirian di kebun teh ini. Tidak ada seorang pun yang ada di sini.
“Din...”
“Elang?”
Aku senang melihat keadaannya yang baik-baik saja. Spontan aku memeluknya dengan erat. Air mata perlahan menetes dari mata ku. Air mata kebahagiaan.
“Kamu dari mana aja sih? Kenapa gak pernah ngasih kabar ke aku? Aku tuh khawatir tau gak. Takut ada apa-apa sama kamu.”
“Kamu tenang dulu ya. Duduk dulu.”
Mata Elang memancarkan sebuah kesedihan. Ucapannya terdengar getir. Tangannya dingin. Tetapi dia tetap berusaha tersenyum walaupun pahit.
“Kamu sakit?”
“Gak sayang, ada sesuatu hal yang harus aku bilang ke kamu.”
“Apa?”
Elang menunjukkan sebuah cincin yang melingkar di jari manis kirinya. Sebuah cincin emas putih yang berkilau terkena sinar matahari yang akan pulang ke peraduannya.
Air mata ku kembali menetes, kali ini lebih deras. Aku tidak sanggup lagi menahannya. Seminggu dia gak memberi kabar dan sekarang dia datang dengan cincin emas di jari manis kirinya. Orang awam sekali pun tau apa tujuan cincin dilingkarkan di jari itu.
“Kamu jangan nangis, aku mohon. Aku gak bisa lihat kamu nangis kayak gini. Tolong Dinda.”
“Aku nangis bukan karena cincin ini, aku nangis karena janji kamu. Aku sakit kamu perlakuin kayak gini. Mana janji kamu sepuluh tahun yang lalu? Bukankah kamu ikrarkan lagi satu bulan yang lalu? Mana janji itu Lang, mana? Ah mungkin aku aja yang terlalu bodoh mempercayai semua kata-katamu. Mungkin benar kata Aldi, harusnya aku sudah melupakanmu sejak kepergianmu tempo hari.”
“Din, tolong kasih aku waktu buat jelasin semuanya. Ini emang salah aku, aku akui itu. Tapi ini juga bukan kehendak aku. Aku punya penjelasan atas semua ini.”
“Gak perlu. Aku udah ngerti kok, mungkin memang cukup sampai di sini.”
“Din, tolong Din. Beri aku kesempatan untuk jelasin semuanya Din. Supaya ini semua gak jadi salah paham. Please!”
Aku gak tega melihat Elang memohon seperti itu. Walaupun hati ku sakit, tapi aku yakin Elang juga tersiksa dengan kondisinya sekarang. Dan mungkin benar apa kata Elang, ini semua bukan keinginannya.
“Apa yang mau kamu jelasin?”
“Makasih Din, kamu dah mau kasih aku waktu.”
Elang terdiam sejenak. Dia mencari kata-kata yang pas untuk menjelaskannya kepadaku.
“Aku dijodohin Din. Memang klasik. Aku sudah mencoba untuk menolaknya, tapi ibu sama ayah terus mendesakku untuk bersanding dengan perempuan pilihannya. Aku sudah meminta mereka untuk mencoba mengenal pilihan hatiku, tapi mereka menolak. Sebenarnya beberapa hari yang lalu, aku pergi dari rumah.”
“Kenapa?”
“Aku berontak Din. Aku udah besar. Aku bisa mencari pendamping hidupku sendiri. Bahkan aku udah menemukannya, kamu Din. Cuma kamu yang pantas mendampingiku. Tapi mereka selalu ngotot dan gak pernah peduli dengan alasan ku. Sampai aku senekat itu pergi dari rumah.”
“Lalu apa yang buat kamu menerima keputusan orang tua kamu?”
“Terpaksa Din. Saat tau aku pergi dari rumah, ibu kena serangan jantung. Bahkan sempat kritis beberapa hari. Aku gak tega melihat kondisi ibu seperti itu. Akhirnya aku memutuskan untuk menikah dengan perempuan pilihan ibu. Walaupun berat. Tapi aku gak mau Din, jadi racun yang membunuh ibuku sendiri.”
Elang tertunduk lemas. Aku tau posisi dia pasti serba salah. Dia harus memilih ayah dan ibunya yang telah merawat dia sampai sekarang ini, atau aku perempuan biasa yang baru ditemuinya sepuluh tahun yang lalu dan baru menjadi kekasihnya satu bulan yang lalu.
“Siapa perempuan itu Lang?”
Dia tidak menjawab.
“Siapa Lang? Aku hanya ingin tau siapa perempuan itu? Aku cuma mau bilang ke dia, tolong jagain separuh hati aku. Aku cuma pengen bilang itu Lang. Tolong kasitau siapa dia?”
“Elang, ayo pulang. Aku jamuran nih nungguin kamu di mobil.”
Aku terpaku melihat perempuan yang ada di hadapan ku sekarang. Begitupun Elang. Mungkin dia juga tidak menyangka perempuan itu akan muncul di hadapan kita.
“Vi... Vin... nnaaa...?”
“Loh jadi yang mau kamu temui itu Dinda, Lang? Kenapa kamu gak bilang sama aku sih? Kan aku sama Dinda udah lama gak ketemu. Kamu apa kabar Din?”
“Baa... ik kok...”
“Kalian kenapa sih? Kok mukanya tegang banget?”
“Ehm gak kok Vin, oh ya selamat ya aku denger kamu mau nikah sama E... lang.”
“Wah kamu udah tau ya, makasih ya Din. Aku harap kamu bisa datang di acara pernikahan ku nanti.”
“Akan aku usahakan. Kalau gitu aku pulang dulu Vin, ada janji sama Aldi soalnya. Gw pulang dulu ya... Lang. Permisi.”
“Din... Dinda tunggu.”
“Udah lah Lang, kita udah ditunggu tante Mona nih. Kita kan mau jemput tante. Ayoo...”

Aku berjalan menyelusuri jalan setapak di kebun teh ini diselimuti dinginnya angin malam. Malam ini begitu indah, tapi tidak seindah hatiku. Hatiku hancur berkeping-keping mendengar semua pengakuan Elang barusan. Dan yang harus aku terima pula adalah kenyataan bahwa Vinna, perempuan yang dicintai Aldi, sahabatku yang menjadi pendampingnya.
Lengkap sudah penderitaan ku malam ini. Di ujung jalan aku melihat segerombolan pemabuk yang sedang memperhatikan ku. Aku takut, amat takut. Mereka berjalan mendekat. Aku berlari ke dalam kebun  teh, berusaha sekuat tenaga agar tidak tertangkap oleh gerombolan orang itu.
Tapi sayang, aku hanya seorang perempuan yang lemah yang tidak mempunyai kekuatan. Aku terjatuh. Mereka berlima tertawa puas melihat aku terduduk lemas. Aku hanya bisa menangis sambil mencoba berteriak. Namun sayang, tak ada orang sama sekali. Ini sudah malam, apalagi ini di kebun teh.
Satu orang dari mereka berjalan ke arah ku. Dengan muka penuh gairah dia melucuti semua pakaian ku. Dia merenggut keperawananku. Mereka bergilir satu persatu melakukannya. Fenomena yang sungguh amat tragis.

Mereka tertawa puas. Aku hanya bisa terus menangis. Aku tergulai lemas. Aku sudah tidak bisa berpikir apapun. Rasa sakit hati yang baru saja aku rasakan ditambah dengan perasaan kecewa karena tidak bisa menjaga keperawananku bercampur menjadi satu. Aku terus menangis kemudian aku pingsan tak sadarkan diri.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Posting Komentar

Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Free Music at divine-music.info