“A.. ku..
dimana?”
“Sha. Akhirnya
kamu sadar juga. Aku dan mbok Inah cemas karena kamu gak sadar-sadar.”
“Teddy.. Teddy
gimana?”
“Aku belum dapat
kabar lagi dari keluarganya.”
“Antar aku ke
rumah sakit lang.”
“Tapi kan kamu
baru sadar dari pingsan.”
“Aku gak apa-apa
lang. Kamu mau antar aku atau gak? Kalau gak aku bisa pergi sendiri!”
“Iya iya aku
antar kamu.”
“Mbok aku sama
Tisha pergi dulu ya.”
“Hati-hati den
Elang dan non Tisha.”
“Makasih mbok.”
***
“Tante, gimana
keadaan Teddy?”
“Masih kritis
sha.”
Air mata kembali
menetes di pipi. Entah sudah berapa banyak air mata yang aku keluarkan hari
ini. Aku menangis di pundak Elang. Dia mencoba menenangkan ku. Dia gak ingin
aku pingsan seperti tadi. Elang sangat mengkhawatirkan keadaan emosional ku
sekarang.
“Tisha, ini kado
dari Teddy untuk kamu.”
Tante Marlina,
mama Teddy memberikan sebuah kotak persegi berwarna biru, sesuai dengan warna
kesukaan ku. Teddy memang sangat mengerti selera ku. Aku buka kotak itu
perlahan. Isi kotak itu kembali mengingatkan ku pada kejadian 10 tahun lalu.
Pesawat-pesawatan yang aku dan Teddy buat, gelang-gelangan untuk Teddy yang aku
buatkan dari rotan, dan sebuah foto kenangan kita berdua. Ada secarik kertas.
Aku buka perlahan kertas itu dan aku mulai membacanya.
Tisha, surat ini aku buat dari
seorang sahabat untuk sahabat yang dia cintai. Bagi ku kamu bukan hanya sahabat
sejati, tapi kamu belahan jiwa ku. Aku tau tidak sepantasnya aku mengatakan ini
padamu. Aku bukanlah siapa-siapa yang patut kamu cintai.
Aku bahagia mendengar kamu telah
bersama Elang. Aku tau dia laki-laki yang baik. Maafkan aku kalau selama ini
aku melarangmu berdekatan dengan dia. Sebenarnya aku cemburu. Iya, aku cemburu
melihatmu sedekat itu dengannya. Kita memang dekat. Tapi aku lihat ada
perbedaan di sana. Saat kamu di samping ku, kamu hanya bisa tersenyum. Tetapi
saat kamu bersama Elang kamu bisa tertawa puas tanpa ada beban sedikit pun.
Tatapan mata mu juga tidak bisa
menipu ku sha. Ada binar-binar cinta di sana untuk Elang. Iya, hanya untuk
Elang. Bukan untuk aku. Aku sadar rasa sayang mu pada ku hanya sebagai seorang
sahabat dan ku rasa tidak bisa lebih. Tapi tak apa sha. Hanya menjadi sahabat
mu saja aku sudah senang. Aku tak perlu hati mu yang mencintai aku, aku hanya
perlu kamu selalu di samping ku menjadi sahabat ku.
Sha, semenjak kejadian kemarin di
danau itu, aku sadar aku terlalu kasar sama kamu akhir-akhir ini dan puncaknya
kemarin saat aku tau kamu memang telah bersamanya kini. Tapi kini aku sadar,
mencintai tidak harus memiliki. Hanya melihat mu bahagia dengan orang yang kamu
cintai, aku sudah bahagia sha. Jangan pedulikan aku. Dengarkan kata hatimu.
‘- Teddy
-
***
Aku
tidak kuat lagi membendung tampungan air mata ku setelah membaca surat dari
Teddy. Aku menangis sejadi-jadinya. Begitu dalam rasa sayang Teddy pada ku,
tapi aku tidak menyadari itu. Betapa bodohnya aku. Kenapa aku gak bisa peka
dengan keadaan sekitar ku? Bahkan perasaan sahabat ku sendiri.
Tiba-tiba
pintu kamar Teddy terbuka. Dokter ke luar dengan wajah murung membuat ku
semakin gundah.
“Dimana
keluarga pasien Teddy?”
“Saya
mamanya dok? Bagaimana keadaan Teddy?”
“Maaf
bu, kami sudah berusaha. Tapi Tuhan berkehendak lain.”
Tante
Marlina pingsan gak sanggup mendengar kenyataan yang ada. Begitu pun dengan ku.
Lutut ku terasa sangat lemas. Aku terjatuh. Elang mencoba menenangkan ku. Dia
memeluk ku erat dan memberikan dadanya untuk aku menangis. Aku gak bisa
menerima kenyataan ini sama halnya dengan tante Marlina. Aku belum siap harus
kehilangan sahabat seperti Teddy.
/
Air
mata mengantar kan kepergian Teddy. Semua orang yang menghadiri pemakaman Teddy
pasti merasa kehilangan dia. Sosok yang baik hati, penyayang, dan siap membantu
siapa pun yang sedang kesusahan. Tidak pandang bulu.
Tante
Marlina terlihat lebih tegar. Tetapi tidak dengan Angel, adik semata wayang
Teddy. Dia terlihat begitu kehilangan. Angel dan Teddy memang saudara kandung
yang sangat dekat, bahkan terkadang aku iri melihat kedekatan mereka.
Tante
Marlina menghampiri ku. Beliau membawa sebuah bungkusan yang dibungkus dengan
kertas kado mickey mouse, tokoh kartun kesukaan ku. Beliau menyerahkan
bungkusan itu pada ku.
“Ini
untuk kamu dari Teddy sha. Sebenarnya ini sudah lama pengen dia kasih ke kamu,
tetapi dia menunggu saat yang tepat. Sayangnya saat itu sudah tidak ada lagi.” Ucap
Tante Marlina sambil berlinang air mata.
Satu
demi satu orang silih berganti meninggalkan pemakaman, termasuk keluarga Teddy,
tante Marlina, om Alex, dan Angel serta Elang. Kini hanya aku, makam Teddy, dan
bungkusan kecil di tangan ku. Dengan perlahan
aku buka bungkusan itu. Sedikit demi sedikit isi bungkusan itu dapat
terlihat. Sepertinya aku mengenal benda itu. Sebuah kaset. Iya, kaset westlife
yang tempo hari di janjikan oleh Teddy. Ada secarik kertas yang tertempel di
cover kaset tersebut.
“Tisha, aku akan selalu berada di
hatimu. Walaupun semua hanya tinggal kenangan. Dan biarlah menjadi kenangan
manis untuk kita berdua”
***